Padang (ANTARA News) - Laju kerusakan hutan di Sumatera Barat (Sumbar) mencapai 53.000 hektare tiap tahun, akibat penebangan liar, perluasan areal perkebunan sawit, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan kegiatan pertambangan, sehingga menyebabkan berkurangnya ketersediaan air bagi penduduk. "Padahal, dana-dana rehabilitasi dan pemulihan tersedia, namun tidak digunakan dengan baik, sebaliknya daerah cenderung membuka kawasan pariwisata, tanpa kegiatan penghijauan," kata Aguswinarno dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar, di Padang, Senin. Ia menyampaikan hal itu dalam rangkaian menyambut peringatan Hari Air Dunia, yang diperingati tiap 22 Maret. Menurut dia, berbagai kebijakan pemerintah untuk mempertahankan ketersediaan air bagi penduduk, bagai "dua sisi tembok besar`. Satu sisi air dilihat sebagai fungsi ekonomi hingga dieksploitasi, sedangkan satu sisi lainnya air menjadi hak masyarakat, sehingga mereka bisa memperoleh air sehat dan bersih. Padahal, ia mengemukakan, air merupakan partikel bebas tanpa harga, artinya penduduk seharusnya memperoleh air bersih secara gratis. "Namun, sumber daya air kini kualitasnya makin berkurang, antara lain akibat 50 persen dari luas hutan Sumbar kini sudah berubah fungsi," katanya. Ia menyebutkan, luas hutan Sumbar sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor 422/KPT/1999 mencapai 2.600.286 hektare, dan sebanyak 50 persen diantaranya sudah berubah fungsi sebagai perkebunan, dan HPH, seperti dimiliki Universitas Andalas (Unand) di hutan Mentawai. Ia menjelaskan, Unand juga bertanggungjawab dalam mempertahankan ketersediaan sumber daya air itu, terkait dari hutan dikelolanya menjadi HPH itu. HPH yang dikelola Unand mencapai 50 hektare, tetapi tidak memiliki dukungan ekologis sehingga membuat ketersediaan sumber daya air makin berkurang. "Berkurangnya ketersediaan sumber daya air di Sumbar juga terkait banyak sungai-sungai yang tercemar antara lain adanya penambangan mercuri seperti di DAS Sungai Batang Hari," katanya. Ia menambahkan, kemauan pemerintah daerah untuk mempertahankan kawasan sebagai daerah tangkapan air juga rendah, ditandai ekstambang batu bara Ombilin di Sawahlunto justru `disulap` menjadi kawasan pariwisata. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008