Jakarta (ANTARA News) - Sebagai negara produsen minyak mentah, Indonesia seharusnya sudah menikmati keuntungan besar tak terduga (windfall profit) dari lonjakan harga minyak mentah dunia yang sudah mencapai di atas angka 110 dolar AS per barel. Sayangnya, kesempatan pemerintah untuk menangguk rezeki dari "booming" harga minyak tidak optimal. Sorotan langsung mengarah pada kinerja produksi minyak Indonesia, yang justru terus mengalami penurunan di saat harga minyak melambung tinggi. Kegiatan pemboran eksplorasi untuk mencari sumber-sumber minyak baru bahkan sudah surut sejak tahun 1999. Maka tidak mengherankan, penemuan cadangan minyak baru menjadi sangat langka dan penurunan produksi tidak bisa dibendung lagi. Direktur Centre for Petroleum and Energy Economics Studies, Dr. Kurtubi, mengatakan produksi minyak Indonesia kini hanya mengandalkan lapangan-lapangan minyak tua. Padahal, untuk menaikkan produksi minyak nasional butuh penemuan cadangan atau lapangan minyak baru, katanya, dalam seminar Hulu-Hilir Migas bersamaan peluncuran majalah Energy & Mining, di Jakarta, pekan lalu. Ia mengaitkan kian langkanya kegiatan investasi pemboran migas itu dengan pemberlakuan Undang-Undang (UU) No.22/2001 tentang minyak dan gas bumi (Migas). Untuk memperkuat dugaan tersebut, Kurtubi membeberkan, data penurunan kegiatan pemboran sumur minyak baru yang mulai terjadi pada 1999 bersamaan dengan pembahasan RUU Migas di DPR. Dalam periode 1978-1998, rata-rata jumlah sumur minyak yang dibor setiap tahunnya selalu di atas 110 sumur minyak. Tetapi begitu RUU Migas mulai dibahas pada 1999, kegiatan pemboran turun menjadi 90 sumur, katanya. Investasi dalam kegiatan eksplorasi bahkan hanya mencapai 62 sumur minyak saat UU Migas mulai diberlakukan tahun 2001 dan mencapai titik terendah (36 sumur) pada 2003, sebelum naik lagi menjadi 62 sumur tahun 2005. Akibatnya, produksi minyak mentah nasional juga terus mengalami penurunan. Jika pada 1995 produksi minyak nasional sempat mencapai 1,62 juta barel per hari (bph), maka pada 2007 hanya 899 ribu bph. Bagi Kurtubi, upaya peningkatan produksi minyak sulit tercapai karena berbagai aturan mengenai sistem manajemen perminyakan nasional yang diatur dalam UU Migas berbelit-belit dan tidak bersahabat bagi investor. Ia lalu menunjuk, beberapa aturan dalam regulasi yang memberatkan investor. Seperti proses perizinan investasi yang semula satu atap menjadi banyak atap. Selain itu, dalam pasal 31 disebutkan kewajiban investor membayar pajak dan pungutan meskipun masih dalam tahapan eksplorasi. Pemerintah sebenarnya telah berupaya memberikan kompensasi atas berbagai pungutan itu, dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.177 Tahun 2007, tentang pembebasan bea masuk bagi barang operasi migas. Namun Kurtubi menilai, penerbitan PMK bukan solusi permanen sebab status PMK lebih rendah dari UU, serta berpotensi menimbulkan gugatan baru. "Jalan keluarnya tetap UU Migas harus diamandemen atau pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)," tegas pengamat perminyakan itu. Pakar pengelolaan lapangan minyak dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Widjajono Partowidagdo, sependapat bahwa lesunya kegiatan eksplorasi selain karena tingginya risiko investasi (country`s risk) di Indonesia, juga akibat berbagai pengenaan pajak dan pungutan dalam UU Migas. Tetapi menurut Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan ITB itu, amandemen UU Migas bukanlah satu-satunya cara mengatasi persoalan minimnya produksi minyak nasional. Peningkatan produksi dalam jangka pendek dapat dilakukan dengan merevitalisasi lapangan-lapangan minyak yang terlantar atau yang dikenal dengan istilah "lapangan tidur". "Semua kontraktor migas, baik Pertamina maupun perusahaan asing, yang menguasai lapangan tidur itu diminta untuk melepaskannya (carved out)," katanya. Pengoperasian lapangan tidur itu kemudian dialihkan kepada perusahaan terpilih yang bersedia mengeksploitasinya. Upaya ini sudah diakomodasi lewat penerbitan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor03/2008. Cara lain adalah mendorong kontraktor aktif melakukan kegiatan eksplorasi meski wilayah kerjanya telah berproduksi. Bukan rahasia lagi, banyak kontraktor migas malas melakukan pemboran baru apabila sudah berhasil memproduksi minyak. Pemerintah bahkan harus memberitahu kontraktor bahwa keaktifan kontraktor migas melakukan eksplorasi menjadi syarat utama perpanjangan kontrak kerjanya, kata Widjajono. Tetap cerah Melalui berbagai perbaikan iklim investasi dan langkah pembenahan di bidang regulasi maupun pengawasan, kalangan perminyakan nasional optimis prospek investasi sektor hulu migas tetap cerah. Terlebih cadangan hidrokarbon khususnya minyak dan gas masih sangat besar. Dari data geologis, ada sekitar 60 cekungan hidrokarbon yang tersebar di dalam bumi Indonesia dengan perkiraan kandungan minyak bumi 86,9 miliar barel dan gas sekitar 384 triliun standar kaki kubik (TSCF). Hal itu membuktikan secara geologis, Indonesia masih menarik bagi investor. Dengan faktor ekonomi yang sangat mendukung, terutama dari harga minyak dan gas yang terus naik, seharusnya kegiatan eksplorasi migas di Indonesia akan kian marak dan bukan sebaliknya. (*)

Oleh Oleh Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2008