Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPAT) Prof Gunadi menyebutkan, jalur penyelesaian kasus-kasus pajak yang sulit dibuktikan di pengadilan sebaiknya memang dituntaskan melalui jalur kesepakatan di luar pengadilan (out of court settlement). "Ini untuk menghindari hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor pajak," ujarnya menjawab wartawan di Jakarta, Selasa, terkait lambannya penyelesaian beberapa kasus pajak, seperti yang dialami oleh Asian Agri yang diduga melakukan penggelapan pajak senilai Rp1,3 triliun. Gunadi yang juga Guru Besar Hukum Pajak UI itu mengatakan, penyelesaian kasus pajak memang harus cepat untuk mencegah potensi kerugian yang berlarut-larut, baik dari sisi penerimaan negara maupun bagi wajib pajak yang diduga pajaknya bermasalah. Soal mekanisme penyelesaian kasus pajak di luar pengadilan, ujar Gunadi, sesuai dengan Pasal 44B UU Perpajakan memang harus diusulkan oleh Menteri Keuangan. Kejaksaan Agung kemudian menghentikan penyidikannya setelah wajib pajak membayar pajak yang kurang bayar ditambah dendanya sebesar 400 persen. Dia menyebutkan, jumlah kurang bayar pajak yang masuk dalam penyidikan kejaksaan tersebut memang tidak ada SKP (Surat Ketetapan Pajak). Tetapi dalam surat usulan penghentian penyidikan dari Menkeu, disebutkan jumlah dugaan potensi kerugian negara yang harus dibayar oleh wajib pajak itu plus dendanya sebesar 400 persen. "Ada perhitungannya, tapi bukan SKP. Karena kalau sudah SKP, berarti penyelesaiannya melalui jalur administrasi sehingga sudah tidak ada unsur kerugian negara," tegasnya. Menurut Gunadi, kalau kasus-kasus pajak yang sulit dibuktikan di pengadilan tetap dipaksakan, justru potensi penerimaan negara bisa hilang. "Jalur pengadilan pajak tergantung temuan-temuan kantor pajak. Tapi kalau masih menduga-duga dan sulit dibuktikan, bisa jadi pengadilan memutuskan tidak ditemukan unsur kerugian negara," jelasnya. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa prinsip yang harus diingat adalah penyelesaian kasus-kasus perpajakan bukan dimaksudkan untuk memidanakan atau memenjarakan wajib pajak, melainkan untuk menyelamatkan potensi penerimaan negara. "Kalau potensi pemasukan negara sudah dibayar, berarti tidak ada lagi unsur kerugian negara sehingga orangnya tidak perlu dipidana lagi," jelasnya. Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) Abdul Hakim Ritonga mengatakan bahwa Asian Agri yang diduga menggelapkan pajak Rp1,3 triliun, bisa terbebas dari tuntutan pidana sesuai Pasal 44B UU Perpajakan, yakni untuk kepentingan penerimaan negara dan atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Pasal itu juga mengatur, penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan tersebut hanya dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak, plus denda sebesar empat kali lipat jumlah pajak kurang bayar.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008