Jakarta (ANTARA News) - Demokratisasi politik yang dibawa Orde Reformasi pada akhirnya meminta tumbal di bidang ekonomi, sosial kebudayaan, dan lain-lain yang membuat kian meningkatnya kemiskinan, kasus narkoba akibat ketidakmampuan aparat keamanan menangkalnya. "Tapi yang menyedihkan korbannya terutama adalah rakyat kecil," kata mantan Ketua DPP Golkar, Pinantun Hutasoit, di Jakarta, Rabu. Pinantun mengemukakan contoh kenaikan harga-harga kebutuhan sehari-hari yang terus melambung bahkan barangnya menjadi langka, dan banyak masalah menyangkut rakyat tidak cepat diselesaikan, seperti korban Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Saat ini, katanya, bangsa Indonesia harus menyadari bahwa demokratisasi ala parlementer ternyata menciptakan mekanisme yang tidak berdampak positif antara para wakil rakyat di parlemen dan pemerintah. Dalam hal ini ia menunjuk silang-pendapat persoalan calon Gubernur Bank Indonesia yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tapi ditolak oleh DPR. Komisi XI DPR menolak nama Agus Martowardojo serta Raden Pardede yang diajukan pemerintah sebagai calon gubernur BI. "Kalau konflik-konflik seperti ini terjadi setiap bulan, apa jadinya negara ini. Ini kan mengedepankan egosime sektoral dan mengabaikan kepentingan rakyat banyak, yang saat ini membutuhkan banyak perhatian dan bantuan," ujarnya. Tokoh Ormas MKGR ini menyatakan khawatir, jika konflik-konflik politik seperti ini akan dijadikan "amunisi" untuk menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pinantun menyatakan cemas jika praktik-praktik pilkada, yang banyak menimbulkan pertentangan di masyarakat, menjadi "lahan" yang subur bagi pihak-pihak yang memang mengincar agar NKRI terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil, seperti yang dialami beberapa negara Eropa. "Kita sangat menyayangkan jika praktik berdemokrasi justru membuahkan hasil negatif, dan menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara," ujarnya. Ia memprihatinkan setelah negara melaju pada proses demokratisasi seperti sekarang, justru banyak menonjol perbedaan-perbedaan suku, agama, budaya dan kearogansian di banyak sector. Semua ini, menurut Pinantun, seyogyanya menjadi pemikiran para politisi yang merasa dirinya hebat, demikian Pinantun Hutasoit. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008