Brisbane (ANTARA News) - Indonesia, Australia, Selandia Baru, dan Filipina bekerja sama menyelenggarakan dialog antar-kepercayaan di Phnom Penh, Kamboja, untuk melanjutkan upaya memajukan budaya saling menghormati, memahami, dan toleransi di Asia Pasifik. Para tokoh agama, masyarakat, akademisi dan pejabat pemerintah dari sepuluh negara anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Australia, Selandia Baru, Timor Leste, Fiji, Papua New Guinea hadir dalam dialog yang sudah berlangsung empat kali itu. Menurut Badan Pembangunan Internasional Australia (AusAID) dalam penjelasannya kepada ANTARA, Selasa, Sekretaris Parlemen Australia untuk Urusan Bantuan Pembangunan Internasional Bob McMulland hadir dalam acara yang berlangsung dari 1 hingga 4 April itu. McMulland mengatakan, Australia, Indonesia, Selandia Baru dan Filipina berkomitmen kuat memajukan upaya membangun budaya saling menghormati, memahami dan toleransi di antara bangsa-bangsa yang berbeda agama dan budaya di kawasan Asia Pasifik. Delegasi Australia, katanya, terdiri atas para tokoh lintas keyakinan dan agama, para pekerja sosial dan akademisi yang selama ini sangat aktif dalam mendukung terbangunnya nilai-nilai dialog antariman di masyarakat mereka. Dialog antar-kepercayaan yang berlangsung di ibukota Kamboja itu merupakan kelanjutan dari kegiatan yang sama sejak Pemerintah Indonesia dan Australia menyelenggarakan bersama dialog antar-kepercayaan yang pertama di Yogyakarta pada 6-7 Desember 2004. Pada dialog pertama di Yogyakarta itu, para tokoh moderat lintas agama dan masyarakat dari berbagai negara peserta menggarisbawahi pentingnya peran para pemimpin agama dan masyarakat dalam menjembatani perbedaan dan membangun harmoni. Pada penyelenggaraan dialog yang kedua di Cebu, Filipina, pada 14-16 Maret 2006, inisiatif bersama Indonesia dan Australia itu kemudian didukung oleh Selandia Baru dan Filipina sebagai negara tuan rumah. Pertemuan di Cebu itu melahirkan Deklarasi Cebu tentang Kerjasama Antar-kepercayaan Kawasan untuk Perdamaian, Pembangunan, dan Martabat Manusia. Setahun berikutnya, dialog antariman ketiga diselenggarakan di Waitangi, Selandia Baru, pada 28-29 Mei 2007. Selain Indonesia dan Filipina, delapan anggota ASEAN lain yang aktif terlibat dalam dialog ini adalah Kamboja, Brunei, Malaysia, Singapura, Thailand, Laos, Vietnam, dan Myanmar. Dialog keempat di ibukota Kamboja itu berlangsung ketika masyarakat dunia diganggu oleh beredarnya film "Fitna" karya anggota parlemen Belanda, Geert Wilders, yang menista kitab suci Al-Qur`an dan Nabi Muhammad SAW di internet. Film anti-Islam itu memicu beragam reaksi dari kalangan pemerintah, organisasi dunia, dan masyarakat Muslim dan non-Muslim di berbagai negara. Pemerintah RI mengecam keras Geert Wilders yang telah membuat dan mengedarkan film yang menista Islam itu. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memerintahkan kementerian terkait di kabinetnya untuk mencekal Wilders memasuki Indonesia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon pun mengecam pemutaran film anti-Islam karya anggota Parlemen Belanda berkarakter fundamentalis dan esktrimis ini. Pemerintah Australia juga mengutuk film "Fitna" dengan alasan bahwa isinya bersifat "ofensif" dan Wilders telah menyalahgunakan kebebasan berpendapatnya. Menlu Stephen Smith mengatakan, kebebasan berbicara dan berpendapat tidak bisa membuat seseorang, terlebih lagi seorang anggota parlemen, menyalahgunakan hak tersebut untuk menyulut kekerasan agama dan ras maupun kebencian. (*)

Copyright © ANTARA 2008