Jakarta (ANTARA News) - Beragam tanggapan muncul ketika Masyarakat Film Indonesia (MFI) mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji pasal-pasal dari Undang-undang Perfilman Nomor 8/1992 yang dinilai tidak independen dan tidak demokratis. MFI mengusulkan adanya lembaga baru yang independen dan lebih demokratis, sementara sejumlah kalangan menganggap LSF tetap perlu dipertahankan. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengungkapkan penyensoran yang dilakukan LSF terhadap film dan reklame film yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan kesusilaan bukan berarti pembatasan terhadap pekerja film untuk bebas berekspresi. "Pemerintah memberikan keleluasaan dan kebebasan untuk berekspresi, berimprovisasi, dan berkarya melalui film dan reklame film asalkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," katanya. Senada dengan pemerintah, Ketua LSF Titi Said mengatakan lembaga yang dipimpinnya itu berupaya membentengi nilai luhur dan budaya bangsa dari adanya tekanan budaya luar yang destruktif dan menyebabkan abrasi terhadap budaya bangsa sendiri. "LSF berupaya memberi rasa aman pada penonton, yang mau membuat film bebas merdeka kok. Tapi kalau film itu sudah masuk ranah publik, maka film itu harus masuk LSF dulu," katanya. Titi mengaku bisa memahami keinginan para sineas yang menginginkan lembaga sensor dihapuskan. Namun selama Undang-undang Nomor 8/1992 tentang Perfilman masih berlaku, maka ia harus tetap menjalankannya sesuai aturan yang tertulis dalam undang-undang tersebut. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan tidak setuju jika penyensoran dilakukan dengan cara memotong karya para sineas seperti yang dilakukan LSF saat ini. "Itu namanya tidak menghargai kreatifitas, " cetusnya. Meski demikian, lanjutnya, penyensoran masih diperlukan dengan cara yang lebih sistematis dan metode yang jelas. Sebab pembebasan dan penyerahan filter sepenuhnya pada masyarakat akan berdampak buruk pada dunia perkembangan anak. "Realitanya, penyiaran di Indonesia khususnya televisi sudah kebablasan. Film-film yang ditayang di televisi, dalam pandangannya hanya berorientasi pada industri hiburan semata tanpa ada unsur edukatif dan informatifnya, " ujar Arist. Lembaga Baru Sutradara film yang juga anggota MFI, Mira Lesmana mengungkapkan kata "sensor" sudah tidak sesuai lagi karena menimbulkan kesan pemotongan atau pembungkaman secara paksa. "Lebih baik lembaga sensor ini digantikan dengan lembaga klasifikasi. Kita bisa mencontoh Inggris misalnya, yang menerapkan sistem klasisfikasi dan berjalan dengan baik," ujarnya dalam sebuah diskusi film yang dihadiri LSF, MFI, dan kalangan pecinta film Indonesia. Langkah klasifikasi yang dimaksud adalah memberikan label batasan usia pada film-film yang akan diputar. Penonton di setiap bioskop dibatasi sesuai usia yang tertera pada label. "MFI akan memulai upaya klasifikasi dimulai dari film-film kami berikutnya. Nanti kami juga akan bekerjasama dengan pihak pengelola bioskop untuk menerapkan aturan klasifikasi tersebut," katanya. Sementara itu Gubernur DIY yang juga pemerhati budaya, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan keluarga (orang tua) dapat menjadi alternatif sensor yang memiliki peran signifikan dalam mendidik anak memilih film yang baik. Hal tersebut diungkapkan Sri Sultan saat menjadi pembicara kunci pada diskusi film dalam rangka Hari Film Nasional bertema "Film Indonesia dan Jati Diri Bangsa" yang berlangsung di Jakarta. Sri Sultan mengungkapkan dalam pelaksanaannya, lembaga sensor mengandung banyak masalah sehingga alternatif sensor perlu dicarikan jalan yang tepat untuk bisa diterapkan. "Orang tua bertanggungjawab mendampingi anak-anak dalam menciptakan kebersamaan dan menanamkan nilai-nilai multikultural, sehingga anak mampu mengapresiasi film sebagai media hiburan sekaligus media pendidikan dalam kehidupan," ujarnya. Ia mengungkapkan jika pendidikan di keluarga baik, maka dapat diharapkan ketahanan anak terhadap pengaruh negatif dari luar akan lebih kuat. "Saya menyadari tidak semua keluarga memiliki kepedulian tersebut. Maka bisa dimaklumi jika menggagas alternatif sensor berbasis budaya yang dimulai dari keluarga bukan kerja sesaat," tambahnya. Sementara itu aktor senior Alex Komang berpendapat perlindungan konsumen tetap mutlak diberikan negara pada warganya. Meski tak setuju LSF dibubarkan, Alex berpendapat lembaga sensor film harus dirombak terkait aturan sensor, orang-orang yang menduduki jabatan sebagai anggota LSF, dan pola perekrutannya. "Orang-orang yang duduk di LSF seharusnya tidak hanya berpedoman pada aturan undang-undang saja, tapi mereka memahami estetika dan memiliki daya tafsir. Sehingga ketika memotongg gambar tidak asal gunting," demikian Alex. (*)

Pewarta: Oleh Desy Saputra
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008