Jakarta (ANTARA News) - Bertekad menerapkan petuah "mata dibayar mata, gigi diganti gigi", akhirnya justru berujung kebangkrutan, atau dalam ranah sepakbola disebut sebagai kekalahan. Ini nasib yang diterima oleh pasukan AS Roma yang bertekuk lutut 0-2 dari musuh bebuyutannya, Manchester United. Berlaga di kandang sendiri, dalam leg pertama perempatfinal Liga Champions, pasukan asuhan Luciano Spaletti menelan pil pahit, seakan mengulang mimpi buruk musim lalu. Pasukan AS Roma punya kenangan jauh dari romantis. Di perempatfinal Liga Champion musim lalu, laju AS Roma terhenti karena kalah dari Manchester United. "I Giallorossi" menang 2-1 di Stadion Olimpico. Tetapi di Old Trafford, The Red Devils unggul dengan skor fantastis, 7-1. AS Roma mengobarkan balas dendam, Manchester United menebar kerendahan hati. "Roma kini berada di peringkat kedua (di klasemen Liga Utama Italia) dan punya rekor fantastis, serta punya peluang menang," kata manajer MU Sir Alex Ferguson sebelum laga kedua tim digelar. "Mereka tampil sebagai tim yang lebih baik (dibandingkan dengan musim lalu), tanpa keraguan sedikit pun. Posisinya di liga lokal menunjukkan siapa sebenarnya Roma," katanya. Bahkan, kemenangan tidak langsung membuat seorang Ferguson menepuk dada, tetapi justru memilih bersikap rendah hati, demikian laporan AFP. Dua gol tanpa balas membuat publik Roma terbungkam. Ferguson menyebutnya sebagai prestasi membanggakan dari dua pemainnya, yakni Cristiano Ronaldo dan Wayne Rooney. Kemenangan ini mengukuhkan United sebagai tim yang terus mematangkan diri di Eropa. Meski Ferguson tidak menutup mata dengan sejumlah peluang yang diperoleh pasukan Roma lewat Christian Panucci dan Ludovic Giuly. Kalau kerendahan hati anak sah dari cinta, maka Ferguson seakan mendaraskan ayat-ayat cinta. Pelatih asal Skotlandia justru mereaksi aroma pertempuran gaya gladiator di Ampitheatrum Roma dengan memberi makna kemenangan, tanpa mengobarkan balas dendam. Sehari sebelum laga digelar, Roma seakan dibakar bara duel antara dua gladiator yang siap unjuk kekuatan untuk membuktikan bahwa rivalitas kerap memengaruhi perjalanan hidup seseorang atau kelompok dalam ziarah kehidupan. Baik AS Roma maupun Manchester United bakal saling melontarkan senjata pamungkas untuk saling mematikan. Adu strategi bahkan adu fisik tidak dapat dihindari kedua gladiator dari Italia dan dari Inggris itu, demikian Reuters. Gladiator yang mampu menahan emosi dan melirik kelemahan lawan bakal punya kesempatan melepaskan pukulan mematikan. Sementara gladiator yang membabibuta bakal beroleh kesia-siaan. Bayarannnya langsung kontan, kekalahan! Rivalitas membuncah antara AS Roma dan Manchester United. Mengapa AS Roma justru mengerek bendera balas dendam? AS Roma ingin tampil sebagai gladiator di hadapan publiknya sendiri. Pasukan Spaletti seakan mengulang kredo bahwa orang membenci dan ingin mematahkan balas dendam, tetapi untuk mewujudkannya mereka wajib melakukan tindakan balas dendam. Pemimpin Redaksi majalah Basis, Dr GP Sindhunata SJ dalam bukunya "Kambing Hitam, Teori Rene Girard" menulis bahwa balas dendam memang dilarang, tetapi supaya larangan itu operasional, pelarang harus membunuh orang yang menimbulkan balas dendam. Ia menimbulkan dendam lagi. Ia menjadi penghukum tapi sekaligus juga terhukum. Ia juga menulis balas dendam memang berlaku seturut prinsip keadilan yang paling dasariah: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Balas dendam terletak di tangan masing-masing individu. Prinsip balas dendam ini menyelinap dalam pemikir revolusioner F. Fanon yang berpendapat bahwa revolusi Dunia Ketiga dapat diadakan hanya melalui pemberontakan dan kekerasan. Karena imperialisme penjajah berakar dalam tindakan kekerasan yang menindas dan mengasingkan bangsa-bangsa Dunia Ketiga. Sementara tokoh psikonalisa kreatif Eric Erikson mengidentifikasi bahwa manusia lebih banyak mengetahui taktik perang daripada seni perdamaian. Manusia lebih pandai membunuh dan merusak ketimbang memelihara hidup. Spiral balas dendam yang disuburkan oleh kebencian lahir dari cara memandang "kekitaan", maksudnya yang serba lain dan yang serba beda dengan "kelompok kita" wajib dipisahkan, disingkirkan, bahkan dianggap bukan sebagai manusia. "Yang lain tergolong pada tempat dan kategori yang salah. Mereka hidup di rumah yang lain, mengenakan pakaian yang aneh. Mereka hanyalah bagian dari yang kotor dari kelompok kita yang bersih. Mereka musuh yang berbahaya," tulis Erikson dalam Gandhi's Truth: On the Origins of Militant Nonviolence. Padahal, filsuf Raymund Schwager menyatakan fitrah manusia justru mengampuni mereka yang menebar kebencian dan aksi balas dendam dengan berusaha sekuat tenaga dan sekuat pikiran menyalurkan energi cinta. Misteri ini disebutnya sebagai "theo drama". Tujuan theo drama yakni menyalakan obor kebenaran yang selama ini tertutup oleh kebencian. Kebenaran itu yakni cinta. Cinta yang tak mau membalas dendam. Cinta yang kosong dari aksi kekerasan, justru berbuah kemenangan. Pengamat sepakbola Ed Vulliamy dalam harian Guardian menulis bahwa Roma dikalahkan oleh sebuah tim yang membawa "semangat khas Italia, yakni kedamaian dan kecintaan. Absennya Totti Absennya pemain pilar Francesco Totti bukan semata-mata ia tampil sebagai mesin gol, tetapi sebagai kapten kesebelasan dan inspirator tim. Ini yang dipahami betul oleh Ferguson. Dari sisi kualitas Roma dapat bersaing dengan Manchester United. Apalagi, suasana hati para pemain Roma tampak mendidih dengan perilaku Cristiano Ronaldo yang dianggap melecehkan lawan. Ketika berbicara kepada media, David Pizarro mengatakan, "Ia (Ronaldo) seorang pemain hebat, tetapi besar kepala. Sikapnya melecehkan lawan. Kami akan membuat perhitungan kepada dia dalam leg kedua nanti." Aroma dendam ada pada Pizarro, padahal yang diperlukan di tubuh Roma, yakni inspirator tim, bukan deklarator kebencian. Bahkan koran Italia Corriere dello Sport menurunkan judul di halaman depannya, "Roma, Ini Belum Berakhir." Judul itu mengisyaratkan masih ada harapan untuk membalas kekalahan di leg kedua. "Kami harus mencetak dua gol dalam pertandingan tandang nanti," kata Spaletti. Dari kacamata harian Gazzetta dello Sport, kekalahan Roma lebih disebabkan karena lawan lebih kuat. Pengakuan akan kelebihan lawan. "Mereka tampil lebih kuat, lebih dari kami," kata Spaletti. Sementara para fans Roma, tulis harian itu, tanpa henti meneriakkan yel-yel "Saya membenci Manchester' (Odio Manchester). Ini sama kadarnya dengan ujaran, "Odio Tutti" (Saya membenci setiap orang). Inikah sepakbola yang menebar kebencian ketimbang kecintaan akan sesama? Inikah koor balas dendam dari publik yang mengaku mencintai sepakbola? Di mana ruh Renaissance Italia yang mengajar bahwa cintailah musuhmu seperti engkau mencintai dirimu sendiri? Sebagai manajer berpengalaman, Ferguson mengetahui betul atmosfer yang sedang berkembang di kubu Roma. Ferguson bersama asistennya Carlos Queiroz mencium aroma balas dendam. Keduanya seakan membuang jauh-jauh dogma dalam sepakbola bahwa pertahanan yang ampuh, yakni menyerang. >b>Kecepatan dan ketepatan Keduanya menginstruksikan kepada pasukan Manchester United untuk terus menggalang pertahanan dan sesekali melancarkan serangan balik dengan memanfaatkan kecepatan Park Ji Sung untuk menusuk pertahanan Roma, demikian pengamat sepakbola Paul Doyle. Pemilihan Park tidak berarti bahwa Cristiano Ronaldo begitu saja nganggur di lini tengah. Sementara Wayne Rooney siap merangsek dari sayap kiri. Dari formasi ini tampak bahwa United tidak ingin kehilangan ciri khasnya yakni menggempur pertahanan lawan dengan mengandalkan kecepatan dan ketepatan umpan. Hasilnya, dua gol tercipta dari Rooney dan Ronaldo. Di babak kedua, Ferguson sadar betul bahwa Roma bakal meningkatkan arus serangan. Ia mengubah taktik dengan menurunkan Owen Hargreaves untuk membendung serangan Roma dan memperkuat lini tengah. Ini lantaran ada tanda tanya seputar kemampuan Park untuk membantu lini pertahanan. Park kemudian digeser ke sektor kiri. Hasilnya, pemain Korsel ini mampu memberi umpan kepada Brown untuk menggedor pertahanan Roma. Ini ayat-ayat cinta Ferguson, yakni mengetahui kekuatan lawan kemudian menyusun strategi dengan berpedoman kepada pamahaman bahwa hanya cinta yang dapat meluluhlantakan kebencian dan balas dendam. Ferguson lebih menerapkan ruh Renaissance Italia. Apakah di leg kedua, dia masih memberlakukan strategi yang sama? Jawabannya, setiap laga punya ciri dan strategi yang berbeda. Manchester United akan tampil unik karena sifat cinta yakni khas dan satu-satunya (einmalig). (*)

Pewarta: Oleh A.A.Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008