Alasan paling besar kenapa gue coba itu, ya penasaran
Jakarta (ANTARA) - "Oh, ibu dan ayah, selamat pagi
Kupergi sekolah sampai kan nanti
Selamat belajar nak penuh semangat
Rajinlah selalu tentu kau dapat
Hormati gurumu sayangi teman
Itulah tandanya kau murid budiman..."

Tentu bagi pelajar Indonesia lirik lagu ini tidak asing, lagu berjudul Pergi Belajar karangan Ibu Sud mengandung harapan orang tua yang mengirim anaknya untuk menimba ilmu baik di sekolah maupun perguruan tinggi.

Berkaca pada insiden penangkapan gembong narkoba jaringan mahasiswa Senin (29/7) lalu, Perguruan Tinggi nampaknya sudah bukan lagi menjadi tempat aman untuk mengirimkan anak menimba ilmu.

Fakta ironis dari penangkapan yang dilakukan oleh Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Barat itu, dari lima tersangka salah satunya merupakan mahasiswa aktif berinisial PHS dan berprestasi di kampusnya.

"Saya menyesal melakukan seperti ini, untuk masyarakat jauhi narkoba, jangan dekati narkoba. Saya begini sudah dua tahun (menjadi pengedar)," ujar PHS kepada awak media.

Rasa ingin tahu mahasiswa yang tinggi akan banyak tampaknya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya mahasiswa terjerat belenggu narkoba.

Salah satunya mahasiswa dari universitas swasta di Jakarta Barat berinisial GP yang pernah terjatuh dalam pertemanan yang menuntunnya menjadi pecandu psikotropika selama 3 tahun berkuliah.

"Alasan paling besar kenapa gue coba itu, ya penasaran. Gue rasa semua orang yang nyobain pasti penasaran dulu," ungkap GP.

Pria berperawakan gempal ini mengaku perjumpaannya dengan narkoba diawali dengan mencoba psikotropika jenis ganja yang diberikan temannya secara cuma- cuma.

GP mengingat kembali masa-masa kelam perjumpaannya dengan narkoba, kala itu ia baru menyandang status sebagai mahasiswa dan bahkan belum genap berusia 20 tahun.

Pria yang gemar menata rambutnya itu akhirnya jatuh ke dalam belenggu narkoba semakin dalam setelah mengalami efek melayang yang dianggapnya menenangkan pikiran dan perasaan hatinya.

Berbeda dengan GP yang mencoba narkoba untuk menjawab hasrat keingintahuannya, TA membeberkan bahwa masalah pribadi yang menuntunnya menjadi seorang 'budak halusinogen'.

"Saat itu gue kira gue bisa lupain masalah gue. Taunya malah jadi paranoid," kata TA yang pernah memiliki ketergantungan pada psikotropika jenis LSD atau sering dikenal dengan Acid.

LSD merupakan singkatan dari Lysergyc Acid Diethylamide, mengutip laman resmi Badan Narkotika Nasional (BNN), efek penggunaan psikotropika sintetis ini menimbulkan ilusi pandang atau dikenal halusinasi bagi penggunanya.

Selain untuk menjawab penasaran dan pelarian masalah, dua mantan pengguna narkoba lainnya yaitu I dan CH mengungkapkan alasan lainnya seseorang bisa terjerat narkoba karena godaan dari pertemanan yang sudah terlebih dahulu memakai narkoba.

"Kalau bukan gara- gara TA dan GP, gue rasa sampe sekarang gue masih bersih," ujar I sembari tertawa-tawa mengingat perkenalan pertamanya dengan obat- obatan terlarang itu.

CH yang merupakan seorang wanita mengaku mendapatkan narkoba pertamanya dari mantan kekasihnya yang sudah menggunakan narkoba lebih dulu dari dirinya.

"Ya gitu, namanya udah jatuh cinta mah semuanya dilakuin. Nyoba- nyoba juga karena dicekokin, jadinya malah keterusan," kata wanita berambut ikal itu.


Sesama pengguna

Keempat mahasiswa semester akhir dari satu universitas yang sama itu sepakat mengatakan alasan lainnya menjadi pencandu narkoba di masa lalu adalah mudahnya akses distribusi.

GP menuturkan segala jenis peredaran narkotika di lingkungan kampus bermula dari aksi saling berbagi.

"Bisa didapat ya dari sesama pengguna, biasanya pengedarnya mahasiswa juga," ujar pria berkacamata itu.

Lewat pengakuannya, GP menyebutkan meski banyak jenis narkoba yang beredar namun narkoba golongan psikotropika merupakan primadona di kalangan mahasiswa.

Psikotropika memiliki efek mengubah perasaan hati serta perilaku penggunanya, contohnya seperti obat tidur, ganja, dan LSD.

Ganja merupakan salah satu narkoba yang paling sering dibeli oleh GP kala aktif menjadi pecandu narkoba.

"Biasanya gue beli cuma segaris, ya kurang lebih sebanyak kayak Jeffri Nichol waktu ketangkep," kata GP.

Sebanyak 6.01 gram ganja menurut GP bisa dihabiskan untuk 2 minggu dengan takaran 'paket hemat', pada 2016 harga ganja 'satu garis' berada di kisaran Rp350.000 hingga Rp500.000.

Karena peredarannya berasal dari sesama pengguna di sekitar kampus, biasanya seusai transaksi dilakukan antara pengguna dan pengedar memakai barang haram tersebut bersama- sama.

Berbeda dengan kasus penangkapan jaringan narkoba pada Senin (29/7) yang didapati para tersangka memiliki 80 kilogram ganja, pada saat GP aktif menggunakan ganja biasanya pengedar hanya membawa sesuai dengan jumlah pesanan.

"Banyaknya pengedar kelas kecil sih yang jelas kan sama-sama pengguna, beda jenisnya dengan yang kemarin tertangkap itu. Kalau itu sudah bandar, " ujar GP ketika ditanya mengenai distributor penjualan narkoba di kampusnya.


Alasan berhenti

Pengalaman adalah guru yang paling berharga, begitu kata pepatah. Hal ini turut dirasakan keempat mahasiswa yang hingga hari ini sudah tidak lagi menggunakan obat terlarang itu.

Mulai dari bertemu psikiater untuk menyelesaikan masalah pribadi hingga bertemu 'kematian' menjadi alasan keempat mahasiswa itu berhenti menggunakan narkoba.

Bagi TA yang menggunakan obat- obatan terlarang karena masalah pribadi, ia akhirnya mencoba bertemu dengan psikiater.

Meski awalnya ragu untuk melakukan sesi konsultasi dengan psikater namun ternyata hal itulah yang membawanya lepas dari acid.

"Gue sih ketemu psikater terus selesaikan masalah jadi solusi gue, kalau ga ketemu mungkin sampai sekarang gue akan masih sering pake itu," kata TA.

Mudah bosan juga ternyata turut memberikan kontribusi bagi I dalam berhenti menggunakan narkoba.

"Gue berhenti karena bosan 'keenakan', gue tuh sering sambil fly sambil mikir ini kapan kelarnya," kata I diikuti tawa kecil.

Lain lagi dengan CH yang berhenti menggunakan narkoba usai kehilangan kesadaran setelah mencoba narkotika jenis tembakau sintetis yang dikenal dengan gorila.

Hanya dengan tiga hisapan dari 'gori' (gorila), CH lantas tidak mengingat hal-hal yang dilakukannya selama terkena efek 'melayang'.

"Gue tuh, tau tau gue pindah posisi, tapi cara gue berpindah posisinya gimana nah itu yang gue lupa. Efek 'ngilang' itu yang bikin gue ga mau coba itu lagi," kata CH.

Selain itu, pengalaman bertemu dengan 'kematian' yang dialami GP dapat menjadi alasan paling kuat bagi generasi muda tidak mencoba narkoba.

GP kala itu juga turut mencoba 'gorila', berdua dengan kawannya yang juga pengedar kelas teri.

Namun tidak lama berselang, temannya yang merupakan pengedar kelas teri itu mengeluarkan busa dari mulutnya menandakan overdosis.

"Gue tampar-tamparin dia sampe dia sadar, di situ gue takut dan tau ya kalau benda itu ga baik," kata GP.


Pencegahan  
Pengedaran narkoba di kawasan perkuliahan bukan fenomena baru seperti yang diungkapkan oleh BNNP (Badan Narkotika Nasional Provinsi) DKI Jakarta.

"Sebenarnya kalau baru banget juga tidak, karena sebelumnya sempat ada berita juga. Tapi namanya juga kejahatan, setiap saat terus meningkat, berubah dan ada trennya," kata Kepala Bidang Rehabilitasi BNNP DKI Jakarta dr Wahyu Wulandari di Jakarta, baru baru ini.

BNNP DKI Jakarta menghimbau universitas- universitas khususnya di wilayah DKI Jakarta untuk proaktif melakukan pencegahan narkoba.

"Ada juga kampus menutup diri. Kami kesulitan di sana. Jika dia membuka diri, mandiri dan ikut aktif berperan serta, kami malah terbantu dan ini masalah bersama," ucapnya.

Hal senada turut disampaikan oleh Pakar Hukum Narkotika Slamet Pribadi mengenai kurangnya kesadaran kampus- kampus untuk melakukan pencegahan narkoba seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 6 tahun 2018 mengenai Rencana Aksi Nasional Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) di lingkungan pendidikan.

"Sosialisasi sudah ada, namun sayangnya kurang masif terstruktur, dan sistematis," ujarnya.

Mantan Kepala Bidang Humas BNN itu berharap sosialisasi lebih gencar dilakukan di tingkat instansi pendidikan.

Hal itu demi terciptanya  keseimbangan antara pencegahan penyalahgunaan narkotika dengan jumlah kegiatan hukum pemberantasan narkotika oleh BNN dan dapat memutus mata rantai peredaran gelap narkoba di Indonesia khususnya di dunia pendidikan.

Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019