Jakarta (ANTARA News) - Seorang pengamat penerbangan menilai, ada salah pengertian antara Indonesia dan Uni Eropa (UE) terkait dengan masih berlanjutnya kebijakan pelarangan terbang terhadap seluruh maskapai Indonesia di langit Eropa pada awal 2008 ini. "Saya melihat ada 'miss communication' di antara keduanya. UE ingin A, sedangkan Indonesia sodorkan B," kata pengamat penerbangan, Bachrul Hakim saat dihubungi di Jakarta, Senin pagi, terkait masih berlanjutnya larangan terbang UE terhadap seluruh maskapai Indonesia yang dirilis UE sejak 11 April 2008. Dalam rilis di laman internet UE, tidak hanya 41 maskapai Indonesia masih masuk dalam daftar hitam UE, tetapi juga Balai Kalibrasi Fasilitas Penerbangan milik Departemen Perhubungan. Maskapai Indonesia, masuk daftar hitam bersama maskapai dari negara lain, yakni dari Swaziland (6 maskapai), Sierra Leone (8), Liberia (1), Republik Kyrgyz (24), Equatorial Guinea (7) dan Republik Demokratik Kongo (51). Menurut Bachrul yang juga mantan Direktur Niaga Garuda ini, jika UE menginginkan kemajuan Pemerintah Indonesia dalam bidang teknis, khususnya terkait keamanan dan keselamatan penerbangan (safety), maka sebaiknya fokus di situ. "Sehingga menurut kacamata saya, dalam menghadapi UE ini dua opsi saja, yakni pertama melawan atau kedua, mengikuti apa yang diinginkan mereka. Kalau tidak mau melawan, jangan maunya sendiri," katanya. Ia memberikan contoh, apa hubungannya antara persoalan kemampuan regulator dalam mengawasi penerbangan nasional yang dipertanyakan UE dengan usulan percepatan empat maskapai dikeluarkan dari daftar hitam mereka. Persoalannya saat ini, kata Bachrul, dunia internasional melihat apa yang terjadi di Indonesia. "Kita sudah umumkan sedang melakukan perbaikan menuju 'zero accident', tetapi masih tampak di depan mata, tidak ada perbaikan. Terbukti, kasus tergelincirnya AdamAir di Batam itu, salah satu buktinya," katanya. Belum lagi, tegasnya, termasuk temuan yang sangat mengejutkan dari laporan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) terhadap kecelakaan AdamAir 1 Januari 2007 bahwa pada Oktober-Desember 2006, pesawat naas itu sebetulnya telah mengalami kerusakan sistem navigasi selama 154 kali. "Ini kan luar biasa. Mengapa, sampai tidak bisa dideteksi oleh para inspektur penerbangan kita atau regulator. Mestinya kan bisa dicegah, pesawat itu dilarang beroperasi," kata Bachrul. Oleh karena itu, tegasnya, persoalan ini harus segera dicarikan jalan keluar yang pas. "Jika Indonesia terus seperti ini, bukan tidak mungkin ICAO (Organisasi Penerbangan Sipil Internasional) dan FAA (Federal Administration Aviation) Amerika Serikat yang selama ini mendukung Indonesia, berbalik ikut UE," kata Bachrul. Posisi seluruh maskapai Indonesia, oleh UE dalam situsnya tersebut, tidak lebih baik dengan sejumlah maskapai dari beberapa negara, seperti maskapai penerbangan Kongo, Hewav Bora dan maskapai pengangkut kargo Ukraina serta Ukraine Cargo Airways. Namun, Maskapai Cubana de Aviacon dari Kuba dan Island Development Company dari kepulauan Seychelles telah dicoret dari daftar hitam UE karena kedua maskapai itu dan pemerintahnya bertindak cepat dan efisien dalam mengatasi masalah keamanan dan keselamatan penerbangan (safety). Kendati demikian, dua maskapai penerbangan itu akan tetap di bawah pengawasan UE. Larangan terbang terhadap maskapai Indonesia oleh UE sendiri terjadi sejak Juli 2007 dan sejak November 2007 diperpanjang lagi dan ternyata evaluasi tiga bulan pada awal 2008 ini, posisi itu bertahan. Tanggapan Menhub Menanggapi hal itu, sebelumnya Menteri Perhubungan, Jusman Syafii Djamal, menyatakan, selama ini ketika UE merilis kebijakan tersebut, tidak pernah mengirim surat resmi ke dirinya. "Karena memang, 'policy' larangan terbang UE, mereka beri judul 'policy of blaming and shaming'. Yakni kebijakan untuk menghujat dan mempermalukan," kata Jusman. Jadi, lanjutnya, biasanya mereka melontarkan hal itu hanya melalui juru bicaranya dalam konferensi pers. "Karena itu, dalam suatu seminar di University Cargill Canada, larangan terbang UE tersebut dipertanyakan legalitas hukumnya untuk diperlakukan ke negara lain," kata Jusman. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008