Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa perbankan Indonesia masih kuat menahan krisis keuangan yang saat ini berlangsung, seperti halnya menahan gejolak penurunan harga Surat Utang Negara (SUN) yang terjadi beberapa hari ini. Meski saat ini industri perbankan memiliki portofolio di SUN sebesar Rp282 triliun, namun masih aman dan kuat, kata Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Halim Alamsyah, di Jakarta, Senin. Menurut dia, saat ini, perbankan memegang SUN dalam tiga kategori. Pertama yaitu SUN yang dipegang hingga jatuh tempo (held to maturity), kedua SUIN yang khusu untuk diperdagangkan, dan ketiiga SUN yang tersedia untuk di jual (AFS/avalaible for sale). Untuk SUN yang dipegang hingga jatuh tempo maka tidak dipengaruhi dengan gejolak tingkat harga. Namun, SUN yang diperuntukan jual beli dan AFS terpengaruh dengan gejolak tingkat harga. "Saat ini untuk yang ada di pasar AFs dan diperdagangkan sekitar separuhnya atau Rp141 triliun," katanya. Oleh karena itu, menurut dia, bila harga SUN turun sampai dengan satu persen, maka potensial kerugian yang dialami sekitar Rp1,4 triliun. "Itu hanya potensialnya saja, jadi belum terkatualisasi," katanya. Sementara itu, ia mengemukakan, dari 50 persen yang bisa dijualbelikan tersebut, menurut Halim sekitar 10 persen yang mempengaruhi modal perusahaan, yaitu SUN untuk jual beli. "Ini yang berpengaruh terhadap modal karena mempengaruhi rugi laba, sedangkan AFS dan `held to maturity` tidak terkait dengan rugi laba perusahaan," katanya. Bila terjadi penurunan harga SUN bahkan hingga 20 persen, menurut dia, maka hasil uji BI menyatakan tidak akan mempengaruhi signifikan modal perbankan maupun rasio kecukupan modal (CAR). "Sebab, dampaknya masih sangat kecil sementara rasio kecukupan modal saat ini mencapai 19-20 persen. Sedangkan peraturan BI minimal delapan persen, jadi masih ada selisih yang lebar untuk cadangan modal," katanya. Selain itu, menurut dia, krisis keuangan yang melanda tidak akan menggoyahkan perbankan Indonesia. "Sebab, kita perbankan kita berbeda dengan di AS," katanya. Ia mengatakan, perbankan di AS memiliki paparan yang kuat terhadap kredit perumahan (subprime mortgage), sehingga kehancuran kredit perumahan telah mengakibatkan krisi perbankan di AS. "Hal ini, berbeda dengan di Indonesia. Kita tidak memiliki itu," katanya. Sementara itu, hasil uji simulasi BI juga menyatakan, penyaluran kredit perbankan akan tetap kuat meski kondisi perekonomian dibayangi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Ia mengatakan, menurut simulasi BI, bila pertumbuhan ekonomi mencapai 6,4 persen maka pertumbuhan kredit bisa mencapai 22-24 persen. Bila pertumbuhan enam persen maka pertumbuhan kredit sekitar 21-23 persen. "Bahkan bila skenario terburuk pertumbuhan ekonomi hanya lima persen, harga minyak 100 dolar AS per barel dan nilai tukar melemah, pertumbuhan kredit bisa mencapai 14-16 persen," katanya menambahkan. (*)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008