Jakarta (ANTARA News) - Pengusutan tindak pidana korupsi diharapkan tidak hanya berdasarkan keterangan saksi, tapi perlu disertai alat bukti lain, sehinga dapat dicegah upaya politisasi kasus korupsi oleh kalangan tertetu, kata Direktur LBH BUMN Habiburokhman, SH. Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, pengacara itu mengatakan, Untuk menghindari politisasi dalam mengusut kasus-kasus tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus disiplin dalam menerapkan azas-azas dan aturan hukum yang berlaku. Menurut Habiburokhman, keberhasilan KPK dalam “menangkap basah” beberapa pejabat penting akhir-akhir ini patut dihargai, seperti tertangkapnya seorang Jaksa berinisial UTG dan seorang anggota DPR karena diduga menerima suap. "Di satu sisi keberhasilan KPK tersebut adalah cermin keseriusan pimpinan KPK di bawah Antasari Azhar dalam mengemban amanat rakyat untuk memberantas tindak pidana korupsi. Namun disisi lain, penangkapan KPK terhadap pejabat-pejabat tersebut akan selalu dikaitkan dengan apa yang disebut politisasi program pemberantasan korupsi," katanya. Dikatakannya, hal yang tak bisa dilepaskan dari agenda pemberantasan tindak pidana korupsi, adalah adanya keinginan pihak-pihak tertentu untuk "membonceng" gerakan pemberantasan korupsi demi kepentingan politiknya sendiri. "Jika dibiarkan, politisasi program pemberantasn korupsi tersebut justru akan menghambat program pemberantasan korupsi itu sendiri. Kredibilitas program pemberantasan korupsi akan menurun dan akhirnya masyarakat tidak akan mendukung program pemberantasan korupsi," ujarnya. Dia mengharapkan, agar upaya politisasi program pemberantasan korupsi agar dihindari oleh aparat penegak hukum terutama KPK sebagai garda terdepan program pemberantasan korupsi. Sementara itu, Anggota Persatuan Pengajar Fakultas Hukum Indonesia Didi Sunardi, SH, MH menyatakan, saat ini ada euphoria dalam masyarakat untuk melaporkan berbagai kasus dugaan tindak pidana korupsi ke KPK. "Rivalitas di birokrasi maupun BUMN sering melatar-belakangi laporan dugaan tindak pidana korupsi. Arahnya jelas agar sang rival terisolir dalam masalah dugaan korupsi tersebut sehingga bisa disingkirkan. Hal tersebut sebenarnya sah-sah saja sebagai bagian dari dinamika reformasi hukum," katanya. Namun, kata Didi, persoalannya tidak semua laporan tersebut didasarkan pada bukti-bukti yang cukup. Bahkan ada sebagian laporan dugaan tindak pidana korupsi yang hanya berdasarkan keterangan sejumlah saksi namun tanpa dilengkapi alat bukti lainnya. "Jika dalam suatu kasus dugaan tindak pidana korupsi, ternyata bukti yang dominan hanyalah keterangan saksi maka prinsip yang perlu dipegang oleh penegak hukum adalah memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi," demikian Didi Sunardi.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008