Padang (ANTARA News) - Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat, Saldi Isra, menilai, mengapungnya wacana untuk mengurangi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat bertentangan dengan keinginan dan harapan rakyat dalam perang melawan korupsi di negeri ini. "Kewenangan KPK tak mesti dikurangi, tetapi gerakannya dalam membongkar kasus korupsi yang harus didorong semua pihak, guna membersihkan instansi pemerintah dari praktek yang merugikan keuangan negara itu," kata Saldi Isra, ketika diminta tanggapannya di Padang, Sabtu, terkait wacana untuk mengurangi kewenangan KPK. Menurut dia, jika ada keinginan parlemen untuk mengurangi kewenangan KPK dengan membuat ketentuan hukumnya, satu bentuk tidak komit dengan program pemberantasan korupsi. Selain itu, wacana mengurangi kewenangan KPK, juga satu indikasi kekhawatiran anggota parlemen atau kelompok tertentu dengan gencarnya KPK mengungkap tindak pidana korupsi. Saldi Isra juga Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, mengatakan, kewenangan KPK sudah diatur dalam UU dan tak perlu diubah lagi. Kendati berkaitan dengan akses KPK dalam membongkar kasus-kasus suap melalui penggunaan penyadapan komunikasi dan penjebakan, sudah umum diterapkan negara-negara yang maju penegakan hukumnya. Jika akses KPK tak memadai, dia menilai, tentu sulit mengungkap kasus-kasus suap pada tingkat parlemen dan instansi pemerintahan, karena sistem tindakan korupsi yang selama ini cukup rapi. "Masyarakat cukup menumpangkan harapan terhadap KPK dalam pemberantasan korupsi di negeri ini," kata Saldi. Sebelumnya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI menilai, munculnya wacana untuk mengurangi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan langkah yang kontra produktif. Anggota FPKS DPR RI Al Muzzammil Yusuf di Jakarta, Sabtu (19/4), mengaku heran dengan adanya wacana untuk mengurangi kewenangan KPK. "FPKS khawatir, wacana tersebut akan kontra produktif dengan program dan kampanye anti korupsi yang sudah kita lakukan sejak Reformasi," katanya. Muzzammil yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI itu mengatakan, keberhasilan KPK membongkar kasus-kasus suap melalui penyadapan komunikasi dan penjebakan, sudah umum diterapkan di berbagai negara yang lebih maju penegakan hukumnya. Hal tersebut, kata Muzzammil, sebenarnya sebagian sudah ada dalam UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan hanya memberi wewenang penyadapan kepada Polisi, Jaksa, dan institusi penegak hukum. "Di luar tiga instansi tersebut dikenakan ancaman sanksi maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp800 juta. Mungkin hal semacam ini bisa diatur lebih spesifik di revisi UU KPK," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008