Jakarta (ANTARA News) - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar tegas dalam menyelesaikan permasalahan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Maluku Utara (Malut). Dalam konferensi pers acara diskusi terbatas PKS di Jakarta, Minggu, Presiden PKS, Tifatul Sembiring, mengingatkan pemerintah untuk tidak bermain-main dengan aturan hukum. "Presiden dalam hal ini harus tegas, membuat surat keputusannya," ujarnya. Ia juga meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Mardiyanto, untuk tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan koridor hukum. Pada 27 Maret 2008, rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Yudhoyono memutuskan untuk menyerahkan penyelesaian Pilkada Malut kepada DPRD Provinsi Malut. DPRD Malut, oleh pemerintah, diminta untuk menyerahkan satu pasangan calon pemenang Pilkada yang merupakan putusan sidang paripurna DPRD. DPRD Malut pun kemudian menggelar rapat paripurna pada 16 April 2008 yang dihadiri oleh 20 anggota dari 35 anggota DPRD. Rapat paripurna DPRD Malut itu memutuskan untuk merekomendasikan hasil penghitungan ulang Pilkada Malut oleh Plt Ketua KPUD Malut, Mukhlis Tapi Tapi, yang memenangkan pasangan Abdul Gafur/Aburahim Fabanyo. Namun, Mendagri Mardiyanto menyatakan bahwa pihaknya belum bisa memproses kemenangan Gafur/Fabanyo, karena masih perlu melakukan sejumlah pertimbangan lagi. Pada 18 April 2008, tim pemerintah yang dipimpin oleh Menko Polhukam Widodo AS dan terdiri atas Mendagri Mardiyanto, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, Kapolri Jenderal Pol Sutanto, dan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara As`ad Said Ali bertemu dengan jajaran Muspida, pimpinan DPRD, dan sejumlah tokoh adat Maluku di ruang VIP Bandara Sultan Baabullah, Ternate, Maluku Utara. Pertemuan dimaksudkan mengajak seluruh pihak terkait memikirkan secara jernih bagaimana langkah penyelesaian sengketa Pilkada Malut. Tak perlu memilih Sementara itu, mantan Presiden PKS yang juga Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, mengatakan langkah pemerintah yang mengirim tim ke lapangan dan mencoba menyelesaikan permasalahan Pilkada Malut di tingkat pusat, merupakan langkah yang baik. Ia mengatakan, pemerintah sebenarnya tidak perlu memilih pasangan calon pemenang Pilkada Malut dan tidak perlu membuat keputusan di luar apa yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang, yakni Mahkamah Agung (MA). Bahkan, ia menilai langkah pemerintah yang mengembalikan keputusan kepada DPRD Malut sebenarnya memunculkan persoalan hukum baru. "Karena sesungguhnya DPRD itu tidak berwenang untuk menentukan hasil akhir suatu Pilkada," ujarnya. Meski demikian, ia mengimbau agar pasangan mana pun yang tidak terpilih sebagai pemenang Pilkada menerima kekalahannya itu secara lapang dada. Untuk perkara sengketa hasil Pilkada Malut, MA telah memerintahkan KPUD Malut untuk melakukan perhitungan ulang suara. Namun, hasil perhitungan ulang suara pilkada Malut itu terdapat dua versi, yakni perhitungan ulang di Jakarta yang dilakukan Ketua KPUD Malut yang dinonaktifkan oleh KPU Pusat, Rahmi Husen, yang memenangkan pasangan Thaib Armayn-Abdul Gani. Sedangkan perhitungan ulang versi kedua dilakukan di Ternate, Maluku Utara, oleh Plt Ketua KPUD Malut, Muchlis Tapitapi, yang hasilnya menetapkan pasangan Abdul Gafur dan Abdrurrahim Fabanyo sebagai pemenang. MA juga telah mengeluarkan fatwa yang dimintakan oleh Mendagri. Fatwa MA itu menyebutkan bahwa hasil penghitungan versi pertama di Jakarta itu telah sesuai prosedur yuridis dan tata cara eksekusi atau pelaksanaan putusan. Sedangkan perhitungan ulang suara versi kedua di Maluku Utara dilakukan secara langsung tanpa didahului oleh prosedur atau tata cara eksekusi yang diharuskan hukum acara. Namun, MA menyerahkan kepada Mendagri untuk memutuskan atau menentukan hasil perhitungan suara mana yang dianggap sah. Keputusan Mendagri itu, menurut MA, harus dibicarakan terlebih dahulu dengan DPRD Malut agar terjalin kerjasama antara eksekutif dan legislatif. (*)

Copyright © ANTARA 2008