Makassar (ANTARA News) - Peringatan hari Kartini tanggal 21 April hendaknya menjadi refleksi bagi perjuangan perempuan Indonesia, dan tidak melihat persoalan perempuan secara linear saja. "Masih banyak persoalan perempuan yang perlu dipertanyakan, misalnya mengapa gerakan perempuan selama ini masih terkesan sendiri-sendiri dan eksklusif dari persoalan di luar isu gender. Karena itu, untuk melihat itu semua jangan kita berpikir secara linear saja," jelas pemerhati perempuan dari Universitas Hasanuddin Makassar, Dr Maria Pandu, Minggu. Menurut Maria Pandu , berjuta perempuan di negeri ini sudah mencapai kemajuan dengan menempati sejumlah posisi penting, namun juga ada berjuta perempuan yang tetap tidak memperoleh kesempatan bahkan untuk membuat keputusan yang paling mendasar tentang perkawinan dan kehamilan sekalipun. Jika merefleksi pada pengalaman RA Kartini, lanjutnya, kematian Kartini saat melahirkan anak pertamanya merupakan tragedi yang hingga saat ini juga dialami ribuan perempuan di Indonesia setiap tahun, selain persoalan gerakan antipoligami dan antikekerasan pada perempuan. Sebagai gambaran, angka kematian ibu saat melahirkan di Indonesia berdasarkan data Depkes pada tahun 2000 lalu saja, tercatat 307 dari setiap 100.000 kelahiran hidup. Sementara jika dibanding dengan Vietnam dan Filipina, angka kematian ibu ketika melahirkan sudah dapat ditekan menjadi 160 dan 170 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, pengamat sosial yang menyelesaikan masternya di Universitas Indonesia (UI)Busman DS.MSi menilai, masyarakat hingga saat ini masih menempatkan kedudukan perempuan tidak setara dengan laki-laki. Ketidaksetaraan ini, lanjutnya, akhirnya akan memberikan andil besar pada pembangunan kesehatan perempuan. Sementara itu, perempuan Indonesia dituntut untuk berperan di semua sektor. Kendati demikian, tidak boleh melupakan kodratnya sebagai ibu yang melahirkan, merawat dan membesarkan anak. "Kesetaraan gender pun yang selama ini digembar-gemborkan banyak aktivis perempuan, belum membuahkan hasil nyata," katanya sembari mengimbuhkan, karena itu, kaum perempuan harus duduk bersama dengan semua stakeholder dalam merefleksi apa yang telah dan belum dicapai. Bukan sekedar memperingati hari Kartini setiap tahun dengan simbol kebaya dan sanggul. Selain itu, perempuan jangan menyerahkan semua persoalan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang kiprah terkadang masih menemukan banyak kendala di lapangan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008