Wamena (ANTARA News) - Hakim ketua persidangan kasus dugaan korupsi dana APBD 2002, pada Pengadilan Negeri (PN) Wamena, Kabuapten Jayawijaya, Papua, Jonlar Purba SH, bersikukuh kedelapan terdakwa mantan anggota DPRD periode 1999-2004 Kabupaten Jayawijaya ditahan, agar proses pelaksanaan sidang dapat berjalan baik. "Saya telah memberi waktu dua minggu untuk mempersiapkan diri hadir dipersidangan, tapi kenyataannya dari delapan terdakwa hanya satu diantaranya yang menghadiri persidangan, maka untuk memudahkan persidangan, pengadilan menetapkan penahanan kepada semua terdakwa," kata Jonlar Purba di Wamena, Selasa. Jika para terdakwa meminta penetapan itu ditinjau kembali mengingat status mereka yang saat ini masih menjadi wakil rakyat di Jayawijaya, Tolikara, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan NTT, menurut dia, maka mereka diminta menjalani terlebih dahulu penetapan yang sudah ada sebelumnya. Pada persidangan Senin (21/4), ketua majelis hakim juga menyoroti kinerja Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hingga persidangan kemarin tidak bisa melaksanakan penetapan pengadilan, menahan para terdakwa. "Seharusnya, JPU meminta bantuan pihak kepolisian jika tidak bisa menahan para terdakwa," kata Jonlar. Atas penegasan itu, kedelapan terdakwa, Theo B.Opki, Didimus Yahuli, Yahya Pagawak, Demianus Jehaduk, Letinus Jikwa, Steve Kogoya, Yulainus Waisimon dan Dawan Esama, yang dalam persidangan Senin didampingi penasehat hukumnya, Jauhari SH dan Semi Latunusa SH, menyatakan keberatan menolak penahanan yang ditetapkan dalam sidang sebelumnya. Penolakan tersebut mereka kemukakan, karena seharusnya pihak pengadilan melakukan tiga kali pemanggilan terhadap mereka dan jika mereka tidak memenuhi tiga kali acara persidangan baru pengadilan mengeluarkan penahanan terhadap mereka. Mereka menilai, mereka bukan koruptor seperti yang dituduhkan JPU dalam dakwaan yang dibacakan, karena dana yang diterima merupakan dana kesejahteraan bagi anggota dewan. "Saya menolak dakwaan jaksa, pertama sauya tidak mengunakan dana itu bukan untuk biaya anak sekolah, karena saat itu saya belum punya anak, saya tidak mendukung David Hubi dan saat persidangan pertama saya berada di Yahukimo dalam ancaman anggota dewan sehingga saya tidak bisa mengahdiri persidangan kemarin," kata Didimus Yahuli. Ditambahkannya, sebagai putra pegunungan tengah mereka tidak terima dengan sebutan koruptor itu, karena itu merupakan pembunuhan karakter bagi putra-putra terbaik pegunungan tengah yang kini menjadi pemimpin dan wakil rakyat di daerah ini. "Kami minta kepada majelis hakim yang terhormat, agar dapat mempertimbangkan kembali tentang perkara ini," ujarnya. Yahya Pagawak, salah seorang terdakwa yang lain, mengatakan bahwa tuntutan jaksa terlalu mengada-ada dan berlebihan. "Tegakkan hukum secara proporsional dan profesional, karena pada dasarnya kami tidak melakukan korupsi," ujarnya. Letinus Jikwa, yang juga salah seorang terdakwa, mengatakan bahwa dana senilai Rp. 170 juta yang ditransfer melalui rekening merupakan kewenangan bupati yang pada waktu itu dijabat oleh Drs. David Hubi. "Dana itu merupakan dana kesejahteraan yang diperuntukkan bagi 40 anggota dewan. Mengapa kasus ini perkaranya harus dipisah-pisah dan tidak disatukan saja, ini patut dipertanyakan," ujarnya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008