Yogyakarta, (ANTARA News) - Kampus harus dijadikan taman pengetahuan, bukan tempat doktrin, agar terbebas dari berbagai bentuk kekerasan, kata peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Eko Prasetyo.

"Untuk itu, kampus harus mendorong optimalisasi perpustakaan, jika perlu mahasiswa dipaksa untuk masuk ke perpustakaan, karena itulah taman pengetahuan," katanya pada seminar Mahasiswa Islam dan Gerakan Antikekerasan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu.

Menurut dia, sejumlah perguruan tinggi belakangan ini ditengarai menjadi lahan subur bagi tumbuhnya gerakan mahasiswa dengan basis ideologi, tidak saja yang berhaluan kanan, tetapi juga yang berhaluan kiri. Bahayanya, melalui ideologi ini potensi kekerasan jauh lebih mudah muncul karena merasa paling benar.

"Oleh karena itu, untuk menjadikan kampus nirkekerasan dapat dilakukan dengan mengubahnya sebagai taman pengetahuan," katanya.

Selain itu, kampus juga harus memberikan ruang bagi gerakan mahasiswa yang memiliki kepedulian sosial, kepedulian atas perbedaan, dan solidaritas pada yang lemah.

"Tujuan tertinggi mahasiswa bukanlah kegembiraan atas kesenangan fisik, tetapi pada perolehan ilmu pengetahuan dan praktik keadilan," katanya.

Dosen Fisipol UMY Suswanta mengatakan, sudah saatnya mahasiswa Islam menjadi intelektual plus, dengan menjadi generasi yang memiliki kualitas pola pikir dan perilaku.

"Jika kita merujuk pada teladan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, mereka bisa memimpin dan melakukan perubahan karena ketinggian ilmu dan akhlaknya, bukan dengan kekerasan," katanya.

Menurut dia, seharusnya ada komitmen bersama di setiap kampus untuk selalu mengedepankan prestasi dan karya, dengan membangun kultur akademik yang baik. Pola pikir mahasiswa pun harus berubah dengan menanamkan keyakinan bahwa kekuatan ide merupakan hal yang luar biasa.

"Hal itu yang membuat mahasiswa Islam bisa memiliki pemahaman komprehensif sehingga melakukan cara-cara yang elegan dalam setiap perilakunya," katanya.

Ia mengatakan, pola-pola pembelajaran yang doktriner tidak akan mencerdaskan, karena hanya akan menghasilkan mahasiswa yang menggunakan kaca mata kuda. Komunitas kampus harus menjadi contoh di tengah masyarakat, dan mampu pula menerima heterogenitas.

"Bagi saya, Islam yang otentik adalah Islam yang mencerdaskan, Islam yang memuaskan akal, dan Islam yang menentramkan jiwa kita," katanya.

B015*E013/H008/H009/AFP

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010