Canberra (ANTARA News) - Setelah banyak yang kecewa dengan hasil perundingan perubahan iklim di Kopenhagen pada Desember 2009, perundingan lanjutan yang berlangsung di Cancun, Meksiko, pertengahan Desember 2010 menghembuskan napas segar.

Perubahan iklim yang berskala dunia tidak dapat dicegah dan ditanggulangi tanpa kesepakatan yang mengikat dari warga dunia yang diwakili oleh pemerintahan dari semua negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim di Cancun, Meksiko, merupakan kali ke-16 bagi negara-negara bernegosiasi di bawah Kerangka Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim.

Salah satu komponen krusial yang dibahas adalah pengaturan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari negara-negara maju setelah tahun 2012.

Secara alami, permukaan bumi diselimuti oleh selubung tipis GRK seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan gas lainnya. Selimut tipis GRK ini sangat penting karena menjaga bumi tetap hangat --mengatur pantulan radiasi matahari secara alami.

Hanya saja, aktivitas ekonomi dan keseharian manusia, seperti dari penggunaan bahan bakar minyak bumi dan batu bara untuk listrik dan industri, serta karena penggundulan dan kebakaran hutan dan lahan, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang kian hari kian "mempertebal" selimut GRK di atmosfer.

Bila konsentrasi GRK terus meningkat, lapisan GRK di atmosfer ini akan menghalangi sebagian radiasi panas matahari yang semestinya kembali ke luar angkasa, malah dipantulkan balik ke bumi yang menyebabkan bumi semakin panas!

Protokol baru

Sampai saat ini selain dari Konvensi, PPB mempunyai perjanjian yang mengikat yang dikenal sebagai Protokol Kyoto. Namun, Protokol ini baru mengatur periode pertama (2008-2012) penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari negara-negara maju sekitar 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990.

Oleh karena itu dibutuhkan perjanjian yang mengatur keberlanjutan periode kedua dari Protokol Kyoto serta perjanjian baru yang mengatur seluruh negara untuk secara wajib maupun sukarela mempunyai penurunan emisi besar-besaran.

Berdasarkan penelitian IPCC (Panel antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim), melalui perundingan di tingkat PBB kenaikan suhu rata-rata muka bumi diharapkan tidak akan melebihi 2 derajat Celsius, suatu ambang batas yang masih dianggap aman dan belum menimbulkan dampak parah akibat perubahan iklim.

Untuk mencapainya, negara-negara maju berkewajiban menurunkan emisi GRK sekitar 25 hingga 40 persen pada tahun 2020 dibandingkan tingkat emisi tahun 1990.

Sementara itu, negara-negara berkembang secara sukarela menurunkan emisi sekitar rata-rata 30 persen dibandingkan grafik proyeksi pembangunan seperti layaknya saat ini.

Paket perlindungan iklim (Climate protection packages) atau sebagai hasil yang dicapai pertengahan Desember 2010 di Cancun memberikan landasan dasar untuk tercapainya kesepakatan dunia yang lebih mengikat untuk penanggulangan perubahan iklim, yang diharapkan keputusan akhirnya bisa dicapai di KTT Perubahan Iklim Desember 2011 di Durban, Afrika Selatan.

Contohnya, negara-negara maju yang terikat di dalam Protokol Kyoto secara lebih tegas mengakui tentang perlunya penurunan emisi GRK sekitar 25 hingga 40 persen pada 2020 dibandingkan tingkat emisi tahun 1990.

Hanya tinggal Jepang dan Rusia yang masih belum sepakat akan hal ini.

MRV

KTT Cancun juga menghasilkan kesepakatan akan unsur-unsur penting yang diperlukan untuk mencapai kesepakatan yang lebih menyeluruh terutama dalam aspek pengukuran (measurement), pelaporan (reporting), dan verifikasi (verification) atau MRV dari pengurangan emisi GRK dan sokongan pendanaan.

Hal ini sangat penting karena aspek-aspek MRV yang akan menentukan apakah masyarakat dunia benar-benar bisa dan tepat menurunkan emisi, dan apakah memang tersedia dana untuk mendukung upaya tersebut.

Selain itu, yang juga berdampak penting untuk Indonesia sebagai negara kepulauan, KTT di Cancun berhasil membentuk Komite Adaptasi. Bagi negara-negara yang kemungkinan terkena dampak parah dari perubahan iklim, kerja komite ini sangatlah ditunggu.

Hasil yang cukup menggembirakan lainnya adalah disepakatinya "pendanaan hijau tingkat dunia yang baru" (a new global green fund). Skema pendanaan ini menjadi penting dikarenakan penanggulangan perubahan iklim di seluruh dunia tentulah tidak murah dan mudah.

REDD+

Bagi sebagian negosiator dan anggota Delegasi Republik Indonesia dan penggiat lingkungan di tanah air, salah satu hasil yang ditunggu adalah tentang REDD+ (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan).

Di Cancun, REDD+ disepakati sebagai bagian integral penanggulangan perubahan iklim dan kesepakatan mengenai REDD+ memberikan landasan kuat untuk terus membangun program REDD+ yang lebih kredibel terutama di negara-negara yang mempunyai hutan tropis seperti Indonesia.

Setelah bernegosiasi selama dua pekan sejak awal Desember 2010, banyak perkembangan yang menggembirakan yang dicapai di Cancun, Meksiko.

Tetapi, pekerjaan berat masih menanti di 2011 karena perjanjian atau kesepakatan yang mengikat masih harus diperjuangkan sampai di Durban, Afrika Selatan nanti.

Kepemimpinan yang lebih nyata perlu dicontohkan oleh negara-negara besar terutama dari Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), India dan Cina, termasuk Indonesia.

Negara-negara ini, terutama Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya, mempunyai peran untuk membuktikan bahwa komitmen pengurangan emisi dalam negerinya berkontribusi nyata untuk memastikan bahwa kenaikan suhu rata-rata muka bumi tidak melebihi 2 derajat Celsius.

Bagi Indonesia, komitmen yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menurunkan emisi GRK perlu diterjemahkan secara lebih serius ke dalam bentuk rencana dan program pembangunan nasional yang mencakup antar-sektor dan daerah.

Komitmen itu juga perlu diikuti dengan rencana adaptasi yang lebih nyata sehingga masyarakat Indonesia siap menghadapi dampak perubahan iklim yang sudah semakin sering menyambangi.

Dengan rencana dan program nasional untuk pengurangan emisi dan adaptasi perubahan iklim yang didukung sektor dan daerah, Pemerintah Indonesia bukan hanya dapat berunding di tingkat PBB secara lebih percaya diri, tetapi juga membuktikan kepada rakyatnya bahwa Indonesia serius dalam menanggulangi masalah ini. (*)

*) Fitrian Ardiansyah adalah Penerima Australian Leadership Award dan Allison Sudradjat Award, Penasihat Program Perubahan Iklim dan Energi, WWF-Indonesia, dan Kandidat Doktor di Australian National University.
(T.N006/T010/P003)

Oleh Fitrian Ardiansyah *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010