Jakarta (ANTARA News) - Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pada 30 Juli - 1 Agustus 2009 di Bukittinggi, Sumatera Barat, selain memilih Pengurus baru di bawah kepemimpinan Darmin Nasution, juga membahas tema “Rekonstruksi Sistem Ekonomi untuk mendukung Daya Saing Indonesia Pascakrisis Ekonomi Global”.

Dalam kongres tersebut mungkin saja terungkapkan bahwa demokrasi ekonomi = ekonomi kerakyatan. Istilah Demokrasi Ekonomi tidak ditemukan dalam kamus ilmu ekonomi versi Barat: Eropa dan Amerika Serikat (AS). Demokrasi ekonomi membawa pesan normatif berintikan ekonomi kerakyatan dimana hak azasi, individualitas dan kreativitas/daya inovasi anggota masyarakat ditumbuhkan.

Perekonomian rakyat versi Barat awal mulanya sama dengan ekonomi pasar yang dicetuskan oleh Adam Smith (pendiri ekonomi modern, 1776) dalam bukunya "An Inquiry into the Nature and the Causes of The Wealth of Nations".

Buku ini sepertinya dogma merakyat abad 18 (1776) di Inggris. Adam Smith adalah seorang filsuf moral (bukan ekonom), yang sekalipun intinya menyodorkan ekonomi pasar, tetapi sekaligus membela kepentingan rakyat miskin Inggris pada masa itu.

Kalau kemudian ada penyimpangan dari teori Adam Smith, maka hal itu karena bersamaan dengan terjadi revolusi industri, transportasi dan informasi, yang awalnya di Inggris, menjadikan para pelaku ekonomi Barat/AS mengagungkan homo-economicus atau manusia sebagai makhluk ekonomi dengan campur tangan minimal pemerintahan atau dikenal the invisible hands dan kini lebih popular dengan faham neo-liberalisme alias neo-lib.

Neo-liberalisme itu dengan fundamentalisme pasar yang melulu menyoroti the supply side atau sisi pasokan dengan keterbukaan persaingan keras, menjurus pada supply creates its own demand dan bukan sebaliknya demand creates its own supply. Karena itu, marilah kita melihat dua model yang berbeda dalam sistem perekomian.

Sistem ekonomi alur keras

Dalam proses sejarah modernisasi dan industrialisasi Eropa maupun AS diawali pada abad 19 dan makin mengambil bentuk dalam abad 20, bahkan memasuki abad 21. Masyarakat pelaku ekonomi Eropa dan AS memasuki alur keras (hard path) yang secara ekstrim mendambakan, apa saja yang dihasilkan industrialisasi, ekspansi internasional/global, mendatangkan manfaat kelimpahan materiil.

Prinsip-prinsip modernisasi dan industrialisasi Barat yang dijiwai atomism dalam bidang ilmu pengetahuan. Ekstremitas Eropa dan Amerika yang dijiwai sifat ketamakan menyebabkan makin banyak individual pelaku ekonomi mereka sama sekali tak terkendali oleh kesadaran beretika.

Sementara itu, sebagai pengamat ekonomi Asia Timur (China dan Jepang) , penulis mengajak elite dan pengamat kita menelaah beberapa butir inti Sistem Ekonomi China, yang selama ini mengalami perkembangan, apalagi sejak eranya kepemimpinan Deng Xiaoping (1978an ). Tanpa terlalu menonjolkan diri, para elite China, secara implisit mengimplementasi sistem Ekonomi China kerakyatan.

Sadar akan jumlah rakyat sebesar 1,3 milyar yang dalam perjalanan waktu tidak boleh diabaikan oleh para pembuat kebijakan ekonomi China. Dalam perjalanan waktu, apalagi memasuki abad 21, Hu Jintao, Presiden China menekankan pada tiga kedekatan, yakni san ge tiejin atau dekat pada realita, dekat pada rakyat dan dekat pada kehidupan.

Tujuan visi baru kerakyatan dan governance adalah membebaskan berjuta manusia China dari keterbatasan untuk mampu bekerja dengan kesadaran inovatif, merencana dan menata diri (self-organise), sambil merekatkan massa masyarakat, dalam arti saling mendukung dan berinteraksi, berjaringan kerja dan saling percaya mempercayai (guanxi dan shinyung).

Tampaknya gagasan sistem politik dari atas ke bawah selama ini masuk akal dan pragmatis, namun sekaligus juga tumbuh suatu gerakan yang mengarah pada suatu lingkungan dimana ‘pengembangan dari bawah ke atas‘ (bottom-up development) dapat berlangsung.

Sistem politik dan pengembangan dari bawah ke atas, yang China terapkan mengombinasikan kebajikan (virtue) dinamika pasar yang berproses menata diri (self organizing market), dengan tetap pada jalur arahan kebijakan dari pusat sampai daerah : Rule of law, bukan law of the ruler).

Bangsa China dari atas sampai bawah sadar akan proses membangun ekonomi yang berkesinambungan (sustainable) demi keseimbangan materil dan spiritual bangsa. Dengan kemantapan ini, China membuka diri pada dunia luar dengan percaya diri yang bernuansa kerjasama dan bukan konfrontatif bersaing.

Kesadaran bangsa China adalah taruhan 1,3 miliar manusia yang ingin menikmati kemajuan materiil dengan dilekati kemajuan spiritual individual tetap dalam harmoni dan kebersamaan.

Sistem ekonomi Jepang

Marilah kita melihat ke Jepang. Bagi Jepang, masyarakat dan wirausaha (entrepreneur) mereka yang mendambakan kemakmuran (prosperity) dijiwai apa yang mereka kenal sebagai harmoni hubungan antar manusia, antara manusia dengan alamnya yang merupakan alur lunak ( soft path).

Mereka menyadari bahwa ketamakan dan kelemahan yang melekat pada alur keras (hard path), tidak akan membahagiakan masyarakatnya. Harmoni menjadi panduan mereka dalam membangun ekonominya yang disebut softonomics (Yuichiro Nagatomi). Dalam harmoni itu revitalisasi masyarakat dan peningkatan kualitas kehidupan sosial dicari melalui keseimbangan antara kemanusiaan dengan alam.

Di Jepang, akar masyarakat egaliter dalam perusahaan berasal dari konsep ningenism (yang artinya antarmanusia). Bersamaan dengan wawasan itu kemudian muncul suatu wawasan yaitu human capitalism (Robet S. Ozaki "human capitalism. The Japanese Enterprise System as World Model,” Kodansha International, Tokyo, 1991).

Kapitalisme humanistik ini menekankan digerakkannya individualitas dan kreativitas. Fokus kapitalisme humanistik adalah pada rakyat, sisi permintaan (the demand side selain the ‘supply side). Rakyat adalah manusia sebagai subyek dan manusia sebagai modal. Jadi , dicarilah selama ini keseimbangan.

Perusahaan Jepang skala kecil, menengah dan besar dalam perkembangan menggerakkan reformasi positif dan kreatif, artinya perusahaan digerakkan oleh jiwa (spirit) menghasilkan produk dan jasa yang didasarkan pada dua tema: "Jiwa manusia" (human sprit) yang berarti respek pada individualitas dan kreativitas manusia, dan kedua: Frontier spirit, yaitu suatu kesadaran inovatif dan menantang (sense of the innovative and the challenging).

Lantas, adakah kesamaan alur lunaknya China dan Jepang dengan demokrasi ekonomi kita? Bagaimana dengan realita pelaku ekonomi kita? Badan Usaha Milik Negara dan Daerah (BUMN/BUMD), swasta, usaha skala besar, menengah dan kecil serta koperasi, dalam sistem demokrasi ekonomi tentu ingin menciptakan produk dan jasa yang bernilai tambah yang dapat diterima baik oleh konsumen individual maupun kelompok dalam masyarakat.

Para elite, pengamat dan pelaku ekonomi harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berperilaku profesional/etis yang bisa mencirikan diri dengan inisiatif kreatif, nilai-nilai yang beraneka ragam, kemampuan berpikir secara mandiri, serta mampu memberi penilaian bermutu dengan senantiasa menjunjung tinggi etika dalam berinteraksi.

Visi yang jelas dari dunia Timur ( China dan Jepang ) jangan sampai sengaja kita abaikan hanya karena hiruk pikuk benturan-benturan politik dan pancingan arus globalisasi Barat/AS. Globalisasi Barat/AS dengan slogan dan kehebatan ber-public relations mereka, sengaja tidak memberi banyak peluang pada tumbuhnya jiwa kewirausahaan, apalagi kalau tidak dimanaje dengan pertanggungjawaban pada anggota sebagai konsumen dan para pemangku kepentingan (stakeholders).

Inilah beberapa pemikiran singkat yang perlu kita mulai dari para elite, pengamat dan tokoh-tokoh bisnis, termasuk yang di daerah perlu analisis dengan kerangka waktu (time-frame) mulai sekarang dan memasuki Pemerintahan baru kita Oktober ini, yang jelas dan bukan rumusan rumusan yang indah saja. (*)

Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi studi pembangunan dan bisnis Asia Timur; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.

Oleh Oleh Bob Widyahartono *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009