Batam (ANTARA News) - Almarhum Soeharto, saat menjabat sebagai presiden, menunjukkan kedaulatan negara dengan cara unik, memancing di tengah laut yang berbatasan dengan negara lain, kata pengamat politik dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji Tanjungpindang Zamzami A Karim.

"Ketika seorang kepala Negara memancing, radius pengamanan oleh aparat sangat luas dan sekaligus melambangkan kemampuan menjaga keamanan dan kedaulatan atas wilayah laut," kata Zamzami dalam Seminar I Pemberdayaan Wilayah Perbatasan di Universitas Internasional Batam di Kepulauan Riau, Rabu (30/3).

Dalam seminar yang diselenggarakan Lembaga Kajian Strategis Ekonomi Politik Perbatasan itu, Zamzami mengatakan, cara Presiden Soeharto ketika itu sederhana dan sebaiknya ada pejabat pemerintah kini yang meniru di laut perbatasan Kepri.

Kini soal kedaulatan Indonesia dalam hal ini di Kepri yang 96 persen terdiri atas laut, dan 2.408 pulau besar dan kecil, menurut Zamzami, perlu dijaga dengan kekuatan, serta diplomasi, dan manajemen perbatasan yang berperspektif kelautan disertai pendekatan kesejahteraan bagi warga.

Ia menilai selama ini kelemahan dalam mengelola kelautan merupakan titik lemah dan rawan menimbulkan kerugian pada masyarakat di sepanjang pantai dan terjadi pencaplokan pulau-pulau perbatasan, penyelundupan dan penjarahan sumber daya laut oleh kapal-kapal asing.

Padahal Kepri sebagai wilayah penyangga politik perbatasan harus dibangun dengan fokus pada manajemen maritim dan dengan regulasi yang meleluasakan warga masyarakat di perbatasan untuk hidup sejahtera, katanya.

Zamzami menyarankan pemerintah agar mengajak Malaysia membangkitkan kembali komitmen yang dibuat pada April 1972 untuk bersama-sama melindungi kehidupan dan warga masyarakat di pantai-pantai sepanjang Selat Malaka dan terutama di Kepri.

Komitmen April 1972 dapat merawat posisi geostrategis Kepri yang berperanan menyangga stabilitas politik negara-negara sekitar, katanya.

Bagi Indonesia, menurut dia, komitmen dengan Malaysia yang dibuat pada April 1972, bila dibangkitkan akan menjadikan warga di pantai-pantai kedua negara tidak lagi memandang asing satu sama lain hanya karena berbeda wilayah dan kebangsaan.

"Kelak, misalnya tidak lagi terjadi kesalahpahaman tentang batas-batas daerah tangkapan nelayan dari kedua negara," katanya.

Kebangkitan komitmen April 1972 dapat diupayakan dengan memanfaatkan posisi Indonesia yang kini Ketua ASEAN, katanya.

Ia menuturkan, komitmen pada April 1972 merupakan salah satu dari sekian kesepakatan Indonesia dan Malaysia dalam menjaga agar kawasan ini tetap aman sebagai jalur lalu lintas perdagangan banyak negara di Asia, terutama Jepang, dan pada akhir-akhir ini, Korea serta China.

Tonggak sejarah politik perbatasan di kawasan ini telah dimulai ketika pada 17 Maret 1970 ditandatangani perjanjian mengenai batas laut Selat Malaka antara dua negara pantai, Malaysia dan Indonesia yaitu mulai dari Selatan One Fathom Bank yang berada di Kelang sampai ke Selat Durian Singapura.

Posisi geostrategis Indonesia dalam hal ini Kepri di kawasan Selat Malaka sebagai jantung lalu lintas peradaban dunia di Asia, dianggap penting Amerika Serikat sehingga harus mengontrol keseimbangan kekuasaan di kawasan Asia guna memastikan bahwa wilayah ini memiliki hak otonomi yang kuat, inklusif dan tidak bergolak.

Menurut Zamzami, wilayah Kepri yang bersentuhan langsung dengan perbatasan berbagai negara merupakan entitas politik paling majemuk dan paling inklusif serta menjadi kawasan terkaya akan ragam budaya dan dinamika politik karenanya dicermati Singapura, Malaysia bahkan AS dan Australia setiap waktu.

Amerika Serikat, katanya, menganggap Indonesia sebagai pemain kunci, selain Jepang dan China, bagi terwujudnya sistem keamanan yang stabil di Asia Tenggara

Badan Pengelola

Pembicara lain dalam seminar tersebut, Sekretaris Komisi I DPRD Kepri Surya Makmur Nasution mengusulkan Gubernur Kepri mempercepat pembentukan Badan Pengelola Perbatasan (BPP) Provinsi Kepri agar pembiayaannya dapat mulai dialokasikan melalui APBD Perubahan Kepri 2011.

BPP Provinsi Kepri, hendaknya dibentuk bukan hanya untuk melaksanakan amanah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, melainkan hendaknya sebagai kesadaran betapa penting mengelola kawasan perbatasan di Kepri dengan perspektif kelautan dan pendekatan kesejahteraan, katanya.

Pengelolaan perbatasan tidak dapat dilakukan secara parsial BPP provinsi semata, melainkan harus terintegrasi secara konseptual dan bersinergi dalam pelaksanaannya dengan BPP kabupaten-kota.

Orang-orang di BPP hendaknya memiliki kapasitas dan kompetensi yang mumpuni dengan sikap nasionalisme sejati, siap dan sanggup bekerja keras, jujur dan berani mengambil keputusan-keputusan yang berpihak kepada kepentingan kesejahteraan warga Kepri dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengelolaan perbatasan di Kepri, menurut Nasution, perlu didukung kalangan pemangku kepentingan dan menyertakan Program Sarjana Penggerak Perbatasan.

Ia mengemukakan, di Kepri terdapat potensi perikanan yang luyar biasa, serta di Perairan Natuna dan Kepulauan Anambas melimpah potensi migas.

Tetapi, katanya, potensi perikanan laut baru terkelola kurang dari lima persen, sedangkan pengelolaan minyak dan gas hingga kini posisi masih terpinggirkan.

"Hal itu merupakan salah urus akibat dampak dari sentralisasi sistem pemerintahan rezim Orde Baru. Sudah saatnya Kepri bangkit untuk menata diri dengan kayaan maritim," katanya.

Khusus soal pengelolaan minyak dan gas bumi di Natuna dan Kepulauan Anambas, menurut Nasution, Pemprov Kepri harus mampu melakukan upaya-upaya strategis sampai ke tingkat lobi untuk memperkuat posisi tawar sebagai daerah penghasil.

Peningkatan dana bagi hasil minyak sudah saatnya diperjuangkan lebih besar dari sekarang ini yang hanya lebih kurang Rp1,4 triliun per tahun.

(A013/A041/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011