Jakarta, (ANTARA News) - Tekait dengan adanya laporan investigatif mengenai pertambangan PT. Freeport berjudul "The Cost of Gold, The Hidden Payroll. Below a Mountain of Wealth, a River of Waste" yang disusun oleh New York Times, Deputi I Kementrian Negara Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan Arie Djukardi mengatakan bahwa selama ini laporan mengenai evaluasi pelaksanaan AMDAL PT Freeport tidak ada masalah. "Sementara ini, rutin saja tidak ada yang artinya berbeda dengan rencana semula, antara rencana semula dengan laporan mereka tidak ada yang luar biasa," kata Arie kepada ANTARA di Jakarta. Menurut dia, selama ini pantauan yang dilakukan oleh KLH bidang Tata Lingkungan adalah pantauan dari laporan perusahaan tersebut. "Dan sementara ini laporan tersebut sesuai, antara rencana dan pelaksanaan," ujarnya. Setiap kegiatan produksi akan menyampaikan laporan berkala setiap tiga bulan atau enam bulan mengenai pelaksanaan AMDAL. Arie mengatakan, AMDAL akan tetap pada skala waktu tertentu, AMDAL tidak akan berubah kalau tidak ada penambahan kapasitas produksi atau desain. "Kecuali mereka ubah sesuatu, baru berubah," katanya. Setelah pantauan AMDAL dilakukan dan tidak ada perubahan rencana, maka proses pelaksanaan produksi akan dipantau oleh bidang pencemaran lingkungan. "Kalau ada sesuatu yang melewati ambang batas baku mutu maka mereka yang akan menindak," katanya. KLH juga memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di wilayah Papua yang akan bergerak jika memperoleh laporan dari pihak-pihak tertentu. Menurut Deputi VII KLH Isa Karmisa KLH, kini tengah diupayakan untuk memperluas kewenangan PPNS. Sementara itu pada kesempatan sebelumnya, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Chalid Muhammad meminta sejumlah pihak yang berwenang di Indonesia untuk menindaklanjuti informasi tersebut. "Pihak berwenang di Indonesia harus melakukan investigasi menyeluruh serta audit yang mendalam terhadap PT. Freeport Indonesia atas sejumlah dugaan pelanggaran yang dilakukannya," tegas Chalid Muhammad. Terutama, dia menambahkan, terkait dengan adanya dugaan perusakan dan pencemaran lingkungan di sepanjang Sungai Ajkwa dari hulu sungai hingga mencapai pesisir laut. Freeport adalah salah satu perusahaan yang memiliki tambang emas terbesar di dunia. Di Provinsi Papua Barat, Freeport mulai beroperasi sejak tahun 1967 atas ijin pemerintah semasa Orde Baru. Menurut Chalid, dalam artikel di New York Times tersebut dua jurnalis New York Times yang melakukan investigasi, Perez dan Bonner, menjelaskan beberapa hal yang menjadi latar belakang sehingga perusahaan itu menjadi perusahaan yang tidak tersentuh hukum, termasuk adanya indikasi penyuapan dan pelanggaran HAM. Terkait dengan kerusakan lingkungan, artikel tersebut menyebutkan bahwa media pembuangan tailing limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) yang ditumpahkan Freeport telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang dibuang melampaui baku mutu total suspended solid (TSS) yang diperbolehkan menurut hukum di Indonesia. Demikian pula audit lingkungan yang dilakukan oleh Parametrix, menemukan bahwa tailing dan batuan limbah Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan cairan asam yang berbahaya bagi kehidupan akuatik. Bahkan sejumlah spesies akuatik sensitif di Sungai Ajkwa telah punah akibat tailing dan batuan limbah Freeport. Menurut Chalid, tiga tahun lalu Walhi juga telah menyampaikan hasil penelitiannya mengenai sebaran tailing Freeport yang mencapai laut Arafura. Walhi juga telah mengajukan ke pengadilan atas peristiwa jebolnya dam penampungan tailing di Danau Wanagon. Namun tidak ada tindakan hukum dari Pemerintah maupun perbaikan pengelolaan tailing itu. Oleh karena itu sebagaimana yang dicantumkan dalam keterangan resminya sejak 29 Desember 2005, Walhi mendesak pemerintah untuk menindak lanjuti informasi tentang pelanggaran HAM yang telah disampaikan oleh berbagai pihak kepada Pemerintah dan Komnas HAM dengan cara melakukan penyidikan hukum. Penyidikan, lanjut dia, juga perlu dilakukan atas adanya informasi dengan penyadapan yang dilakukan oleh Freeport atas beberapa pihak. KPK juga dianggap perlu melakukan pemeriksaan atas dugaan suap oleh Freeport kepada beberapa pejabat sipil dan militer Indonesia. Dan yang tidak kalah penting, kata dia, segera melakukan proses hukum atas pencemaran dan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh Freeport.(*)

Copyright © ANTARA 2006