Surabaya (ANTARA News) - Diplomat dari Kementerian Luar Negeri Australia Greg Ralph mengunjungi Pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya, Jawa Timur untuk menanyakan perkembangan radikalisme di pesantren.

"Beliau datang ke pesantren pada Jumat lalu (3/6) dengan didampingi Glen Askew (Deputi bidang Politik Kedubes Australia di Jakarta) dan Edwin Arifin (staf Kedubes)," kata pengasuh Pesantren An-Nur, KH Imam Ghazali Said, di Surabaya, Minggu.

Ia menjelaskan diplomat seksi Indonesia untuk Kementerian Luar Negeri Australia yang didampingi dua anggota The Wahid Institute itu datang untuk bersilaturahmi dan menanyakan beberapa hal soal perkembangan pesantren di Indonesia.

"Beliau menanyakan kenapa pesantren yang selama ini dikenal di luar negeri sebagai lembaga tradisional dan mampu melahirkan santri toleran, tapi sekarang kok bisa mencetak kader yang radikal," kata KH Imam Ghazali Said yang juga dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.

Menjawab pertanyaan itu, ia mengatakan di Indonesia ada 20.000-an pesantren milik Nahdlatul Ulama, tapi di Indonesia sekarang juga ada ratusan pesantren yang berafiliasi dengan Pesantren Ngruki yang diasuh Abubakar Ba`asyir dan pesantren yang berafiliasi dengan kelompok Wahabi di Arab Saudi.

"Kalau pesantren milik NU yang jumlahnya puluhan ribu itu, saya jamin tidak ada satu pun yang mencetak kader radikal, tapi radikalime di Indonesia selalu memiliki keterkaitan dengan Pesantren Ngruki dan cabang-cabang di seluruh Indonesia serta sejumlah pesantren yang membawa paham Wahabi di Indonesia," katanya.

Namun, ia mengakui santri radikal yang hanya berasal dari ratusan pesantren itu menjadi berita besar sehingga orang menyamakan semua pesantren padahal pesantren NU sering mencetak kader toleran .

Diplomat Australia itu juga menanyakan peta demokrasi di Indonesia dan kaitannya dengan kelompok radikal yang mungkin akan mempengaruhi perkembangan demokrasi.

"Kalau kelompok radikal itu mau berpolitik, saya kira mereka akan banyak bersentuhan dengan kelompok lain, sehingga mereka tidak akan terlalu radikal," katanya.

Namun, katanya, kelompok radikal itu umumnya tidak mau berpolitik karena mereka menilai politik dan partai politik di Indonesia masih belum baik, padahal mereka sebenarnya dapat memperbaiki politik yang dinilai bobrok itu.

Ia menambahkan santri radikal itu umumnya sangat eksklusif dan bukan berkumpul dengan tokoh politik dan tokoh ormas lain, melainkan justru sering "mengganggu" kelompok lain dengan menyusup ke organisasi atau pemerintahan, bahkan mereka juga merebut lembaga pendidikan, rumah sakit, atau tempat ibadah milik orang lain.(*)

E011/S019

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011