Medan (ANTARA News) - Dalam bahasa batak, "gadong" berarti ubi, sedangkan "manggadong" adalah tradisi mengonsumsi ubi, baik sebagai makanan utama maupun panganan untuk kegiatan tertentu.

Hampir semua warga batak mengetahui istilah manggadong, termasuk dua anggota Komisi E Dewan Perwakilan Daerah Sumatera Utara (DPRD Sumut), Sopar Siburian dan Aduhot Simamora.

Kedua anggota DPRD Sumut itu mengaku sering menerapkan manggadong atau mengonsumsi ubi, terutama ketika masih anak-anak.

Menurut Aduhot Simamora, manggadong adalah kebiasaan etnis batak dalam mengonsumsi ubi atau ketela yang dinikmati secara bersama-sama dengan anggota keluarga lainnya.

Namun, kebiasaan manggadong itu sering dilakukan ketika masa krisis perekonomian keluarga sehingga sulit mendapatkan beras untuk dimakan.

Lalu, apa kaitan manggadong dengan upaya memperkuat ketahanan pangan di Sumatera Utara?

Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Sumut, Setyo Purwadi, mengatakan bahwa pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin dalam meningkatkan produksi pertanian guna memperkuat ketahanan pangan.

Dalam skala nasional, ia mengemukakan, ada tiga program yang diterapkan untuk memperkuat ketahanan pangan itu yakni peningkatan produksi pertanian, pengendalian alih fungsi lahan pertanian, dan mengurangi konsumsi beras.

Hanya saja, ia menyatakan, dalam realitanya hasil yang didapatkan sering belum memuaskan meski pemerintah selalu mengeluarkan anggaran besar, termasuk pemberian pupuk untuk meningkatkan produksi pertanian masyarakat.

Dengan adanya alih fungsi lahan yang terus terjadi dan meningkatnya jumlah pertumbuhan penduduk, ia pun menyatakan, maka produksi pertanian masyarakat, khususnya beras terkadang belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.

Karena itu, menurut dia, perlu diciptakan sebuah program yang dapat mengurangi konsumsi beras dan memperkuat ketahanan pangan, termasuk dengan memanfaatkan kearifan lokal yang cukup banyak terdapat di tanah air.

Dari ketiga program skala nasional itu, ia menilai, konsep pengurangan konsumsi beras diperkirakan paling efektif untuk memperkuat ketahanan pangan, khususnya di Sumut. Hal itu dilakukan agar beras yang menjadi makanan utama masyarakat dapat diperhemat dan digunakan pada masa sulit.

Program itu diperkirakan dapat diterapkan di Sumut karena pernah dilakukan sebelumnya, khususnya oleh masyarakat etnis batak yang berasal dari daerah Tapanuli.

"Konsepnya adalah Manggadong, budaya konsumsi yang telah diterapkan leluhur etnis batak," katanya.

Ia menjelaskan, Manggadong adalah budaya etnis batak yang mengonsumsi ketela sebagai makanan pembuka sebelum menikmati nasi.

Dengan menikmati ketela terlebih dulu, masyarakat batak tidak perlu mengonsumsi nasi terlalu banyak karena perutnya telah terisi dengan makanan tersebut.

Dari sisi asupan, kandungan gizi ketela juga cukup banyak dan mampu menggantikan zat yang dibutuhkan tubuh dari nasi. Jika dalam sesuap nasi terkandung 150 karbohidrat, maka ketela mengandung 100 karbohidrat dalam takaran yang sama.

Demikian juga kandungan kalori dengan 100 untuk ketela dan 250 untuk nasi dalam takaran yang juga sama. ?Jadi, asupan gizinya hampir sama tetapi beras dapat dihemat," katanya.

BKP Sumut akan mengampanyekan konsep "Manggadong" itu bersama Pusat Ketahanan Pangan dan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU).

Pihaknya berharap konsep itu dapat menjadi program nasional sehingga konsumsi rakyat terhadap beras dapat dikurangi.

"Di mana pun acaranya, perlu dianjurkan untuk mengonsumsi ketela sebagai makanan pembuka," kata Setyo.

Produksi fluktuatif

Kepala Pusat Penelitian Ketahanan Pangan dan Agribisnis Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara (USU), Ir Hasudungan Butar-butar, mengatakan bahwa program manggadong dengan menjadikan ubi sebagai makanan pembuka sebelum nasi itu layak didukung karena ketersediaan beras di Sumut mulai mengawatirkan.

Dengan kondisi seringnya anomali cuaca dan banyaknya alih fungsi lahan, menurut dia, jumlah produksi beras sangat fluktuatif, bahkan terkesan menurun secara bertahap.

Ironisnya, ia menilai, tingkat konsumsi masyarakat Sumut terhadap beras cenderung meningkat dan mencapai 139 Kg per kapita per tahun. "Padahal, beberapa tahun lalu hanya sekitar 125 Kg per kapita per tahun," katanya.

Dengan kondisi itu, pihaknya sangat mendukung upaya Pemprov Sumut untuk melakukan diversifikasi pangan, termasuk ketika akan mengampanyekan manggadong.

Jika tidak ada diversifikasi pangan, katanya, dikhawatirkan upaya menciptakan ketahanan pangan di Sumut sulit dilakukan dan dapat berujung pada terciptanya masyarakat yang lapar.

Apabila kondisi itu yang terjadi, menurut dia, dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Orang batak bilang tajom piso untajom dope siubeon, artinya perilaku orang lapar bisa lebih tajam dari pisau," katanya.

Ketika masih berstatus anak-anak, Hasudungan Butar-butar mengaku leluhurnya sering mewajibkan seluruh anggota keluarga untuk melakukan manggadong atau mengonsumsi ubi sebelum menikmati nasi.

"Ternyata, kami bisa menurunkan konsumsi beras hingga 30 persen," kata alumni Program Pascasarjana Universitas Padjajaran (Unpad) di Bandung, Jawa Barat, tersebut.

Konsep manggadong juga layak didukung karena kandungan gizinya tidak kalah dengan beras. "Orang Tapanuli (batak) dulu sering makan ubi. Buktinya, tulang mereka keras dan ototnya besar-besar," kata Hasudungan.

Namun, ia mengemukakan, untuk menyukseskannya agar seluruh satuan kerja perangkat kerja daerah (SKPD) di lingkungan Pemprov Sumut, maka baik Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, maupun Dinas Kehutanan harus mendukung program tersebut.

Selain kampanye berkelanjutan, seluruh SKPD Pemprov Sumut, khususnya BKP harus dapat memastikan produksi ubi selalu tersedia untuk dikonsumsi masyarakat.

Segala bentuk kebutuhan dalam produksi ubi, mulai dari pupuk, bibit hingga penyuluhan dalam bercocok tanamnya harus diutamakan agar makanan pengganti nasi itu selalu mudah didapatkan masyarakat.

"Jangan sampai, ketika masyarakat berminat melakukan manggadong, justru ubinya yang tidak tersedia," katanya.

Wakil Sekretaris Komisi E DPRD Sumut Sumut, Sopar Siburian, secara terpisah mengaku setuju dengan konsep manggadong yang akan dikampanyekan untuk memperkuat ketahanan pangan tersebut.

Selain bermanfaat dalam mengurangi ketergantungan terhadap beras, program itu juga diperkirkakan dapat menyemarakkan keanekaragaman kuliner di tanah air yang sempat hilang pada masa orde baru.

Namun, pihaknya mengharapkan Pemprov Sumut tidak menerapkan kebijakan untuk mengurangi pasokan beras, apalagi jika konsep tersebut masih dalam tahap sosialisasi dan kampanye.

Politisi dari Partai Demokrat itu berkeyakinan jika telah merasakan manfaat dari manggadong, secara otomatis masyarakat akan mengurangi sendiri konsumsi beras dalam kehidupan sehari-hari.

"Kondisinya biar mengalir secara alami. Jangan ambil kebijakan pengurangan pasokan beras. Biarkan masyarakat yang memilih," katanya.

Ketua Komisi E DPRD Sumut Aduhot Simamora juga menyampaikan pendapat yang hampir serupa untuk memperkuat ketahanan pangan di daerah itu.

Namun politisi dari Partai Hanura itu mengharapkan BKP Sumut dapat menciptakan kreasi dalam pengolahan ubi yang akan dikonsumsi masyarakat. "Dengan begitu, penyajiannya akan lebih menarik," katanya.
(T.IA)

Oleh Oleh Irwan Arfa
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011