Jakarta (ANTARA News) - Markas Besar Tentara Nasional Indonesia menyatakan tidak akan mengirim pasukan tambahan ke Papua menyusul serangkaian insiden yang mengakibatkan korban jiwa baik warga sipil maupun aparat.

"Situasi dan kondisi Papua secara umum masih dalam kendali Polri. Namun TNI tetap bersiaga mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi," kata Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda TNI Iskandar Sitompul kepada ANTARA di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan, TNI telah menerima permintaan dari Polri untuk membantu menangani beberapa insiden yang terjadi seperti Kongres III Papua medio pekan lalu yang berujung deklarasi Negara Papua Barat Merdeka hingga menimbulkan korban jiwa.

"Kami senantiasa membantu Polri sepanjang ada permintaan. Itu sesuai aturan UU No.34/2004 Tentang TNI. tetapi bukan berarti TNI tidak siaga dan tidak waspada. Kita selalu siap secara internal. Peningkatan di seluruh komando kewilayahan juga kita lakukan menyikapi perkembangan situasi yang ada," ujar Iskandar.

Kapuspen menegaskan, seluruh aparat TNI yang diperbantukan kepada Polri adalah satuan organik Kodam XVII/Cendrawasih. "Tidak ada tambahan pasukan dari pusat atau daerah lain ke Papua. Semua masih dikendalikan oleh aparat TNI di kewilayahan," katanya.

Sejak awal Oktober 2011 sejumlah peristiwa menodai situasi keamanan di Papua. Sejak Senin (10/10) ribuan karyawan PT Freeport Indonesia dan kelompok masyarakat adat pemilik hak ulayat wilayah tambang yang sedang melakukan aksi massa, bentrok dengan aparat keamanan.

Massa yang datang dengan konvoi jalan kaki dari Sekretariat SPSI PT Freeport di Jalan Perintis Kemerdekaan Timika Indah, bermaksud naik ke lokasi tambang melalui Terminal Gorong-gorong. Tujuan mereka adalah untuk menghentikan sementara waktu operasional perusahaan.

Aksi massa terhenti di pintu masuk Terminal Gorong-gorong. Pihak manajemen yang dibantu aparat keamanan menghadang mereka. Aksi kemudian memanas dan terjadilah bentrokan yang mengakibatkan seorang karyawan PT Freeport peserta aksi, Piter Ayami Seba, tertembak aparat keamanan dan meninggal. Beberapa orang lainnya, baik dari pihak karyawan maupun aparat, mengalami luka-luka. Massa yang marah, akhirnya membakar tiga mobil kontainer milik perusahaan dan memblokir ruas jalan Mil 28.

Hingga saat ini, aksi pemblokiran di ruas jalan yang menjadi akses utama menuju lokasi pertambangan Freeport di Tembagapura tersebut, diberitakan masih terus berlangsung. Pihak perusahaan, seperti disampaikan Presiden Direktur dan CEO PT Freeport Indonesia, Armando Mahler, di Timika, mengimbau agar aksi pemblokiran segera dibuka. Sebab, menurutnya, pemblokiran akan dapat menghambat suplai logistik, makanan dan obat-obatan termasuk bahan bakar untuk pesawat dari Pelabuhan Porsite Amamapare ke Timika dan Tembagapura.

Pada medio pekan lalu, Kongres III Papua juga dibubarkan aparat karena mendeklarasikan Negara Papua Barat Merdeka. Akibatnya selain enam orang ditetapkan sebagai tersangka makar, sejumlah warga sipil juga meninggal dunia karena tertembak peluru aparat dan lainnya luka-luka.

Tak hanya itu sejumlah fasilitas seperti asrama dan kendaraan roda dua dan empat dirusak massa. Pada Senin ini, Kapolsek Mulia Puncak Jaya, Ajun Komisaris Dominggus Oktavianus Awes, tewas setelah ditembak orang tak dikenal. sekitar pukul 11.00 WIT. Awes yang bertugas menjaga area Bandar Undara Mulia, Puncak Jaya, saat itu berada di samping sebuah pesawat perintis dan dua orang mendadak mendatangi Awes dan menyergapnya.

Awes terjatuh dan tertindih seorang pelaku dan pelaku lainnya merampas pistol Awes dan menembakkannya pada bagian kepala korban. Beberapa menit kemudian bantuan aparat datang ke tengah bandara. Awes dilarikan ke Rumah Sakit Mulia, namun nyawanya tak tertolong.

Menanggapi rangkaian insiden itu Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menginstruksikan agar pelaku kekerasan dan makar di Papua ditindak tegas.

"Pelaku tindakan makar, pelaku tindak kekerasan baik terhadap rakyat maupun aparat di Papua akan ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku," katanya.
(T.R018/D011)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011