Sanaa (ANTARA News) - Qatar mendesak Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh menandatangani sebuah perjanjian penyerahan kekuasaan yang diprakarsai Teluk, sementara seorang utusan PBB yang sedang berusaha mengatasi krisis di negara itu bertemu dengan para pemimpin oposisi di Sanaa pada Kamis.

Saleh berulang kali membatalkan niat menandatangani perjanjian itu, yang diusulkan pertama kali oleh Dewan Kerja Sama Teluk beranggotakan enam negara pada April untuk membantu mengakhiri protes yang menjebloskan negara tersebut ke ambang perang saudara, lapor Reuters.

"Kami mendesak Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh segera menandatangani prakarsa Teluk tanpa penundaan," kata kantor berita Qatar QNA mengutip pernyataan Perdana Menteri Sheikh Hamad bin Jassim al-Thani di Rabat, ibu kota Maroko, pada Rabu.

Qatar, sebuah negara Arab Teluk, memainkan peranan utama dalam upaya diplomatik untuk mengakhiri krisis di Suriah. Negara itu juga mengambil bagian dalam misi pimpinan NATO di Libya yang membantu menggulingkan Presiden Muamar Gaddafi bulan lalu.

Saleh belum lama ini mengejek Qatar tanpa menyebut nama negara itu, sebagai sebuah negara kecil yang tidak begitu berarti.

Sementara itu, utusan PBB Jamal Benomar bertemu dengan para pemimpin oposisi Kamis di Sanaa dalam upaya mengakhiri krisis yang telah berlangsung 10 bulan itu.

Ahmed Obaid bin Dagher, seorang pemimpin utama Partai Kongres Rakyat kubu Saleh yang berkuasa, mengatakan, Yaman hampir mencapai penyelesaian atas krisis itu.

Awal pekan ini Benomar mendesak peralihan kekuasaan segera di negara yang dilanda kerusuhan itu, setelah pembicaraan dengan Jendral pembangkang Ali Mohsen al-Ahmar.

"Sudah waktunya mempercepat perubahan di Yaman dan memulai peralihan kekuasaan," kata Benomar kepada wartawan, Senin.

"Resolusi Dewan Keamanan PBB merupakan pesan yang jelas dari masyarakat internasional bahwa waktunya telah tiba bagi sebuah perjanjian politik," tambahnya.

Dewan Keamanan PBB mensahkan sebuah resolusi yang mengutuk serangan-serangan mematikan pemerintah terhadap demonstran di Yaman.

Resolusi itu mendukung sebuah rencana sponsoran negara Teluk yang menetapkan Presiden Ali Abdullah Saleh mengakhiri kekuasaannya yang telah berlangsung 33 tahun dan menyerahkannya kepada wakilnya.

Saleh, yang "menyambut baik" resolusi tersebut, berulang kali memacetkan prakarsa Teluk yang bertujuan mengakhiri protes berbulan-bulan. Menurut rencana Dewan Kerja Sama Teluk, Saleh mengundurkan diri 30 hari setelah penandatanganan prakarsa itu, dengan imbalan kekebalan dari tuntutan hukum bagi dirinya dan anggota-anggota keluarganya.

Demonstrasi di Yaman sejak akhir Januari yang menuntut pengunduran diri Saleh telah menewaskan ratusan orang.

Dengan jumlah kematian yang terus meningkat, Saleh, sekutu lama Washington dalam perang melawan Al-Qaida, kehilangan dukungan AS.

Pemerintah AS mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merundingkan pengunduran diri Saleh dan penyerahan kekuasaan sementara, menurut sebuah laporan di New York Times.

Para pejabat AS menganggap posisi Saleh tidak bisa lagi dipertahankan karena protes yang meluas dan ia harus meninggalkan kursi presiden, kata laporan itu.

Meski demikian, Washington memperingatkan bahwa jatuhnya Saleh selaku sekutu utama AS dalam perang melawan Al-Qaida akan menimbulkan "ancaman nyata" bagi AS.

Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al-Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.

Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).

Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaida memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.

Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaida AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.

AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.

Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaida. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.

Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011