Jakarta (ANTARA News) - Gejolak ekonomi global yang ditandai dengan belum pulihnya ekonomi Amerika Serikat (AS) dan krisis utang di kawasan Eropa diperkirakan akan menggerus prospek ekonomi dunia termasuk Indonesia pada 2012.

Dana Moneter Internasional (IMF) yang semula memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2012 akan mencapai sekitar 4,5 persen, pada Oktober 2011 merevisi proyeksi itu menjadi hanya 4,0 persen.

Khusus Indonesia, Institute for Development of Economic and Finance (Indef) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012 hanya sekitar 6,1-6,3 persen.

Perkiraan tersebut lebih rendah dibanding dengan proyeksi yang dikeluarkan IMF sekitar 6,3 persen, Bank Pembangunan Asia (ADB) sekitar 6,8 persen, Bank Indonesia (BI) antara 6,3-6,7 persen, dan pemerintah sebesar 6,7 persen.

"Angka ini turun dibandingkan dengan perkiraan pertumbuhan hingga akhir tahun 2011 yang kemungkinan mencapai 6,5 persen," kata Direktur Indef, Enny Sri Hartati.

Menurut Enny, dilihat dari distribusi produk domestik bruto (PDB), penggunaan pada 2012 akan relatif sama seperti beberapa tahun sebelumnya di mana perekonomian akan ditopang oleh besarnya porsi sektor konsumsi rumah tangga.

Setidaknya dalam empat tahun terakhir sektor konsumsi rumah tangga telah menyumbang PDB lebih dari 55 persen yaitu 63,5 persen (2007), 60,6 persen (2008), 58,7 persen (2009) dan 54,9 persen pada semester I 2011.

Sementara itu mengenai realisasi pertumbuhan ekonomi 2011, Enny menyatakan bahwa ekonomi mampu tumbuh rata-rata 6,5 persen.

"Namun yang menjadi masalah, pencapaian itu masih sebatas `angka-angka`. Dalam kondisi riil, tingkat pengangguran dan kemiskinan masih tetap tinggi," katanya.

Tingkat pengangguran pada 2012 diperkirakan akan sedikit turun yaitu berada pada kisaran 6,3 persen. Tingkat pengangguran dalam tiga tahun terakhir menunjukkan adanya tren penurunan dari 8,0 persen (2009), 7,3 persen (2010), 6,7 persen (2011). Namun penurunan tersebut belum cukup sepadan dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 6,0 persen pada 2010 dan 2011.

Sementara tingkat kemiskinan pada 2012 diperkirakan masih sebesar 11,7 persen. Data tingkat kemiskinan tiga tahun terakhir menunjukkan tren penurunan dari 14,2 persen (2009), 13,3 persen (2010), dan 12,5 persen (2011).

Sedangkan untuk kondisi moneter, Indef memperkirakan nilai tukar rupiah pada tahun 2012 akan berada di kisaran Rp8.900-9.100 per dolar AS. Perkiraan tersebut lebih tinggi dari asumsi dalam APBN 2012 sebesar Rp8.800 per dolar AS.

Selama triwulan I dan II 2011, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi. Namun, volatilitas pergerakan nilai tukar rupiah mengalami peningkatan pada triwulan III. Beberapa faktor pendukung stabilitas rupiah tahun 2012, antara lain masih cukup stabilnya kondisi fundamental perekonomian Indonesia yang membuat aliran arus modal masih terus berlanjut.

Nilai cadangan devisa Indonesia di Bank Indonesia yang lebih dari 100 miliar dolar AS juga berkontribusi terhadap stabilnya rupiah tahun 2012.

Selain itu, kinerja neraca pembayaran juga masih cukup baik dan berada pada posisi surplus, sehingga memberikan ekspektasi positif terhadap investor global di tengah ketidakpastian pemulihan kawasan Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Mengenai inflasi, Indef memproyeksikan inflasi pada 2012 pada kisaran 4,5 - 5,5 persen. Harga pangan yang tidak terlalu bergejolak dalam beberapa bulan terakhir menyebabkan tekanan inflasi sepanjang 2011 relatif turun.

Inflasi sempat meningkat seiring tingginya harga komoditas pada pasar internasional, seperti komoditas pangan dan emas. Namun pada akhir kuartal III 2011, harga komoditas turun karena bertambahnya pasokan komoditas dan kondisi perlambatan ekonomi dunia.

Krisis Utang
Gubernur BI Darmin Nasution menyatakan, Indonesia dapat memetik pelajaran dari krisis Eropa dan AS yang berakar dari permasalahan yang sama yaitu kecenderungan untuk berutang secara berlebihan dalam membiayai konsumsi.

"Utang menjadi jalan pintas sehingga terus membesar dan menjadi beban yang mengancam kesinambungan fiskal, pola konsumsi berjalan tidak seimbang dengan kemampuan produksi sektor riil," kata Darmin.

Penyelesaian krisis utang di Eropa saat ini menghadapi tantangan berat dan kompleks. Krisis utang terus meluas, tidak hanya di negara-negara "peripheral" tetapi juga mengancam negara besar seperti Italia. Merosotnya kepercayaan terhadap ekonomi Italia tercermin dari imbal hasil surat utang Pemerintah Italia berjangka enam bulan yang melonjak ke 6,5 persen dibanding akhir Oktober 2011, sementara obligasi bertenor dua bulan telah mencapai 7,8 persen.

Melonjaknya imbal hasil untuk surat utang pemerintah juga terjadi pada obligasi negara Spanyol dan Prancis. Bahkan imbal hasil surat utang Pemerintah Jerman yang sebelumnya dipandang sebagai "safe instrument" juga meningkat.

Sementara itu proses pemulihan ekonomi AS pascakrisis global 2008 juga masih diliputi ketidakpastian dan berjalan di tempat, meski bank sentral The Fed berkomitmen mempertahankan suku bunga rendah sampai pertengahan 2013.

"Merosotnya kegiatan ekonomi di Eropa dan AS dipastikan akan memperlemah laju pertumbuhan ekonomi global yang berpengaruh kepada negara-negara lain. Fokus kebijakan di seluruh kawasan saat ini diarahkan pada upaya memitigasi dampak perlambatan ekonomi global terhadap perekonomian domestik," kata Darmin.

Menurut dia, BI menempuh sejumlah langkah strategis untuk membendung risiko gejolak ekonomi global dan mengatasi rambatan pelemahan ekonomi dari kawasan Eropa dan AS.

"Sampai saat ini dampak gejolak ekonomi global terhadap perekonomian domestik masih terbatas, namun lambat laun ekonomi kita akan terpengaruh yang akan tercermin pada kinerja ekonomi tahun 2012," kata Darmin Nasution.

Ia menyebutkan, langkah strategis yang diambil BI adalah meningkatkan intensitas monitoring baik terhadap pasar keuangan maupun ketahanan perbankan dalam menghadapi gejolak pasar keuangan.

Monitoring ketat terhadap kondisi likuiditas di pasar antar bank sangat penting karena krisis keuangan pada umumnya diawali dengan tekanan nilai tukar dan keketatan likuiditas di pasar antar bank yang ditandai dengan melonjaknya suku bunga pasar.

Langkah lainnya mempersiapkan Protokol Manajemen Krisis (PMK) dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis yang dikomunikasikan dengan PMK instansi lainnya.

Pengalaman menunjukkan bahwa penanganan krisis sering menelan biaya ekonomi dan sosial yang sangat besar serta waktu pemulihan yang lama.

Upaya memperkuat stabilitas moneter dan sistem keuangan memerlukan adanya pedoman dan payung hukum yang mengatur proses pencegahan dan penanganan krisis secara sistematis dan terintegrasi. Karena itu PMK yang dimiliki BI dan pemerintah perlu didukung oleh UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

BI juga melakukan "operation twist" di pasar valuta asing dan surat berharga negara (SBN) sehingga BI dapat memasok valuta asing dan menyerap rupiah, serta selanjutnya menggunakan rupiah itu untuk membeli SBN di pasar sekunder.

"Operation twist" memberikan manfaat terutama menstabilkan kurs dan harga SBN, serta menambah akumulasi stok SBN di BI, yang digunakan untuk operasi moneter (Reverse Repo).

BI juga menurunkan BI rate dari 6,75 persen menjadi 6,0 persen dalam dua kali rapat Dewan Gubernur BI. Turunnya suku bunga yang disertai dengan peluang peningkatan "credit rating" menjadi "investment grade" diharapkan dapat lebih memperbaiki kualitas arus modal ke Indonesia, menjadi ke arah yang lebih produktif dan jangka panjang.

Menurut Darmin, gejolak ekonomi global akan berpengaruh kepada perekonomian domestik melalui tiga jalur transmisi yaitu perdagangan, pasar keuangan, dan "imported inflation".

"Transmisi melalui perdagangan bagi Indonesia relatif lebih terbatas dibanding Thailand dan Malaysia karena struktur ekonomi kita lebih berbasis permintaan domestik dan Asia semakin terintegrasi melalui peningkatan `intra regional trade`," kata Darmin.

Mengenai, "imported inflation, dijelaskan bahwa kondisi ekonomi global yang stagnan, maka inflasi global dan harga komoditas yang diperkirakan akan terkoreksi turun. Ini tercermin dari harga emas yang mengalami koreksi dalam tiga bulan terakhir dan turut mengoreksi inflasi inti di Indonesia dari 5,15 persen (yoy) pada Agustus 2011 menjadi sebesar 4,4 persen pada Oktober 2011.

Sementara untuk transmisi melalui pasar keuangan, Darmin mencontohkan, ketidakpastian di AS dan Eropa menjadi penggerak aliran modal keluar dari Indonesia seperti pada September dan Oktober 2011.

"Transmisi melalui jalur pasar finansial ini menjadi paling signifikan karena besarnya kepemilikan modal portofolio asing khususnya pada surat utang negara yang mencapai sekitar Rp219,4 triliun atau 29,4 persen dari total surat utang negara," kata Darmin Nasution.
(A039)

Oleh Agus Salim
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011