Sudan Selatan memiliki warga yang terserang trauma yang terbiasa menggunakan kekerasan sebagai cara menyelesaikan sengketa mereka...,"
Jakarta (ANTARA News) - Enam bulan lalu rakyat  Sudan Selatan  dipenuhi kebahagiaan saat mereka memproklamasikan kemerdekaan. Kini, Sudan Selatan dilanda konflik, pembunuhan dan ketegangan antarsuku.

Dua dasawarsa perang dengan mantan musuhnya dari negara Sudan Utara membuat wilayah Sudan Selatan terbelakang di tengah reruntuhan. Pasukan milisi  bertikai dan perpecahan sengit di antara suku yang berjumlah banyak.

Pada Jumat (6/1), seorang pejabat senior dari wilayah Jonglei menyatakan ribuan orang tewas dalam gelombang kerusuhan antarsuku pekan sebelumnya.

Joshua Konyi, komisaris bagi Kabupaten Pibor di negara bagian Jonglei, mengatakan 3.141 orang telah tewas. PBB dan para pejabat militer Sudan Selatan belum mengkonfirmasi jumlah korban jiwa, yang akan jadi wabah kerusuhan etnik terburuk yang pernah terlihat di negara yang baru muncul.

Selain konflik dalam negeri, Sudan Selatan menghadapi ketegangan di wilayah penghasil minyak di sepanjang perbatasan yang ditetapkan secara buruk dengan Sudan Utara; masing-masing pihak menuduh pihak lain mendukung kelompok perlawanan sementara banyak pengulas memperingatkan adanya resiko perang habis-habisan.

Pada penghujung Desember, Juba (Sudan Selatan) menuduh Khartoum (Sudan Utara) membunuh 17 warga sipil dalam dua hari pemboman terhadap perbatasan Bahr al-Ghazal Barat, Sudan Selatan. Sudan Utara telah membantah tuduhan tersebut.

Masalah yang paling mendesak bagi negara yang baru "seumur jagung" itu --yang memiliki luas seperti gabungan negara Spanyol dan Portugal tapi segelintir jalan yang diaspal di luar ibukotanya, "tak diragukan adalah keamanan", kata Giorgio Musso, profesor di University of Genoa, di dalam tulisan pada Oktober.

Sejak kemerdekaan Sudan Selatan, bekas tentara pemberontak Sudan telah mengalahkan beberapa pemimpin pemberontak --dan menewaskan sebagian pemimpin. Sementara itu, pemimpin lain merundingkan penyerahan diri dan anak buah mereka bergabung dengan militer, yang sudah memiliki 100.000 personel dan terpecah sejalan dengan kelompok suku.

"Kebanyakan ketidakstabilan dalam negeri yang terjadi baru-baru ini ... tentu memiliki hubungan dengan SPLM/A (tentara dan partai yang berkuasa) sendiri, yang melibatkan kaum elit yang mesti menyelesaikan masalah di antara mereka," Musson menambahkan sebagaimana dikutip AFP.

Beberapa kekuatan pemberontak yang tersisa telah menawarkan apa yang namanya saja agenda politik, banyak di antara mereka menuduh pemerintah melakukan korupsi, mencurangi pemilihan umum dan mempertahankan dominasi kelompok suku Presiden Salva Kiir, Dinka, atas suku lain.

Sudan Selatan, yang memisahkan diri dari Sudan Utara pada 9 Juli, telah berulangkali menuduh Khartoum melanjutkan taktik perang saudara untuk merusak kestabilannya dengan mengirim senjata buat kelompok milisi. Sementara itu Sudan Utara membantahnya.

Permusuhan bersejarah antara kelompok yang bertikai bertambah parah oleh perang, sementara susunan masyarakat tradisional terguncang hebat oleh pemuda yang dibesarkan untuk mengandalkan senjata bagi kelangsungan hidup.

Andalkan senjata
Banyak kelompok pemuda bersenjata, dengan harapan dan ambisi yang menjulang tinggi lewat kemerdekaan bersejarah Sudan Selatan, memandang tindakan mengangkat senjata sebagai penyelesaian bagi kemiskinan yang menggilas mereka. Mereka mencuri ternak dalam serangan cuma sebagai aksi balas dendam.

"Sudan Selatan memiliki warga yang terserang trauma yang terbiasa menggunakan kekerasan sebagai cara menyelesaikan sengketa mereka, dan akan menjadi proses yang berjalan lama dan lamban untuk mengubah mental ini," kata seorang ahli yang lama mempelajari Sudan, John Ashworth.

Salah satu wilayah yang mengalami pukulan paling keras adalah negara bagian Jonglei yang bergolak di bagian timur negara itu. Pekan sebelumnya, kerusuhan membuat ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan pejabat setempat mengeluarkan peringatan mengenai banyaknya korban jiwa dalam pembunuhan besar-besaran.

"Kerusuhan antarmasyarakat yang kita saksikan bukan sesuatu yang baru, tapi itu adalah babak yang sangat serius," kata Jehanne Henry dari Human Rights Watch.

Konyi --komisaris bagi Kabupaten Pibor-- mengatakan sebanyak 6.000 pemuda bersenjata yang mengamuk dari suku Lou Nuer pekan sebelumnya berpawai ke dalam wilayah Pibor, tempat tinggal suku saingannya, Murle. Para pemuda tersebut menuduh suku Murle melakukan penculikan, menyerang ternak serta berikrar akan melakukan pemusnahan.

Ketika pemuda bersenjata dari Lou Nuer melakukan penyerangan pada akhir pekan, mereka diduga membakar gubuk dan menjarah rumah sakit, dan baru mundur setelah tentara pemerintah melepaskan tembakan.

Lebih dari 1.000 anak hilang, dikhawatirkan diculik, sementara puluhan ribu sapi dicuri, kata Konyi --yang juga berasal dari suku Murle.

Kerusuhan etnik dan serangan terhadap ternak di Jonglei saja telah membuat 1.100 orang tewas dan memaksa sebanyak 63.000 meninggalkan rumah mereka tahun lalu, demikian perkiraan PBB.

Ternak sangat penting buat banyak kelompok suku Sudan Selatan, sebab hewan tersebut menyediakan sumber kesehatan dan kebanggaan bagi masyarakat, dan pemerintah telah berjuang untuk menembus lingkaran kerusuhan serta serangan dan serangan balasan.

Membangun negara baru memerlukan waktu, tapi meskipun Sudan Selatan telah membuat kemajuan besar sejak perang berakhir tujuh tahun lalu,, pada 9 Januari 2005, banyak orang masih merasa pembangunan berjalan terlalu lamban.

Korupsi yang merajalela dan pegawai negeri yang berpendidikan buruk menambah kesulitan yang dihadapi oleh negara yang berjuang menanggung hidup ratusan ribu orang yang kembali ke Sudan Selatan dari Utara, tempat mereka menyelamatkan diri selama perang.

Terlebih lagi, perundingan alot dengan Khartoum mengenai pembayaran pipa saluran untuk mengangkut cadangan minyak Sudan Selatan di satu-satunya jalur yang tersedia menuju utara macet. Sebanyak 98 persen anggaran Sudan Selatan bergantung atas pengiriman tersebut.

Namun Sudan Selatan --yang memiliki potensi besar pertanian serta sumber daya mineral yang dipercaya berlimpah-- memang menawarkan "masa depan yang cerah", kata Ashworth. Ditambahkannya, ia "dengan tegas menolak" penggambaran Sudan Selatan sebagai negara yang gagal.

"Sudan Selatan adalah negara baru yang masih muda, berkembang secara lamban, kurang pengalaman dan prasarana, tapi negara itu sudah membuat prestasi besar dan masih bergerak maju," kata Ashworth.

"Kerusuhan di Jonglei dan tempat lain memang tragis, tapi itu harus ditetapkan sebagai kenyataan bahwa kebanyakan orang di negara baru yang luas tersebut akan lebih banyak menjalani hidup mereka dengan relatif damai."
(C003/A011)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2012