Kalau kami tahu diajak demo dan akhirnya bentrok, tentu saja saya tidak mau. Mendingan saya ngamen di jalan daripada ditangkap begini."
Pekanbaru (ANTARA News) - Massa bayaran yang tergabung dalam Ormas Pagar Negeri Bumi Riau (PNBR) ikut terlibat dalam bentrokan berdarah dalam konflik sengketa lahan antara perusahaan kelapa sawit negara PTPN V dan warga di Desa Sinama Nenek Kecamatan Tapung Hulu, Kabupaten Kampar, Riau pada Senin (21/10).

Hal itu terungkap dari keterangan para anggota PNBR yang kini ditahan di Mapolda Riau, di Pekanbaru, Selasa. Sejumlah anggota PNBR mengaku dimobilisasi dari Kota Pekanbaru dengan mendapat bayaran dari oknum warga yang bersengketa dengan perusahaan.

"Saya dijanjikan dibayar Rp80 ribu sehari," kata seorang anggota PNBR, Asbi yang kini menjadi tersangka.

Sehari sebelum demonstrasi di kantor PTPN V di Tapung Hulu, katanya, para anggota Ormas itu berangkat dari Pekanbaru menggunakan dua truk. Mereka ditugasi untuk mengawal warga desa yang akan memanen buah sawit di kebun PTPN V di daerah sengketa.

Ia mengaku sebenarnya setiap hari bekerja sebagai pengamen jalanan, dan hanya ikut-ikutan dengan rombongan demonstran karena mendengar akan mendapat bayaran.

"Saya tak kenal sama yang bawa. Katanya, kami akan bekerja mengamankan panen sawit di sana," kata Asbi kepada wartawan.

Setelah terjadi bentrokan dan menjadi tersangka, Asbi mengaku menyesal ikut dalam rombongan itu.

"Kalau kami tahu diajak demo dan akhirnya bentrok, tentu saja saya tidak mau. Mendingan saya ngamen di jalan daripada ditangkap begini," katanya.

Pada Senin lalu (21/10), ratusan warga yang datang bersama ormas tersebut menggelar demonstrasi di kantor PTPN V di Tapung Hulu yang berakhir dengan bentrokan. Polisi menahan 38 orang yang terlibat kerusuhan itu, dan 11 diantaranya adalah warga setempat.

Selain itu, polisi juga menyita senjata tajam, 32 bom molotov, serta satu pucuk senapan angin. Sedangkan, satu warga menderita luka tembak di kaki dalam bentrokan itu.

Sengketa lahan PTPN V dengan warga Sinama Nenek berlangsung sejak awal tahun 2000, dan hingga kini belum ada penyelesaian. Warga mengklaim perusahaan telah mencaplok sekitar 2.800 hektare tanah adat (ulayat) dan ditanami sawit.

Berbagai penyelesaian, mulai dari negosiasi politik melibatkan pemerintah pusat hingga pengadilan belum bisa menyelesaikan masalah itu.

Wakil Gubernur Riau, Mambang Mit, meminta kedua pihak untuk menahan diri agar bentrokan tidak terjadi lagi. Ia juga menyayangkan terjadi aksi anarkis dalam kasus itu.

Sementara anggota DPRD Riau Komisi A, Tony Hidayat, meminta agar provokator kerusuhan di Sinama Nenek dihukum. Ia meminta kedua pihak mengambil langkah dialog dalam penyelesaian sengketa lahan itu.

"Warga juga salah, kenapa harus bertindak anarkis seperti itu," kata Tony Hidayat. (F012/KWR)

Pewarta: FB Anggoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013