Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Penelitian Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dalam program "Go Green Campus" menyelenggarakan Konferensi Internasional Krisis Biodiversitas atau "1st International Conference on Biodiversity Crisis" (ICBC) 2014 di IPB Convention Center, Bogor, 4-6 September 2014.

Kegiatan tersebut merupakan bentuk partisipasi Lembaga Penelitian UNJ dalam program Go Green Campus - PSL UNJ 2014 dengan tema "Biodiversity Crisis Management Based  on Implementation of Sciences & Technology and Education Policy". Acara dibuka oleh Rektor UNJ Prof. Dr. Djaali di Bogor, Kamis, dengan menghadirkan pembicatra uatama Prof. Dr. Endang Sukara.

Ketua Panitia ICBC Dr. Rini Puspitaningrum menjelaskan, ICBC adalah wadah komunikasi untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan politik pada isu-isu lingkungan untuk menghadapi identifikasi komunitas ASEAN 2015.  

"Tujuan penyelenggaraan konferensi ini adalah untuk memberikan infomasi tentang krisis biodiversitas dan temuan jalan keluar melalui hasil penelitian serta publikasi internasional online dan inovasi lain di bidang konservasi, ekologi, humaniora dan bioteknologi," katanya.

Rini mengatakan,  ICBC diperkuat oleh paparan dan diskusi dari pembicara dan steering committee dari berbagai negara, yaitu Prof. Dr. Endang Sukara (LIPI, Indonesia); Prof. Dr. Campbell. O. Webb (Harvard University - USA); Dr.  Francis Cabana (Oxford University - United Kingdom); Prof. Dr. Akira Yokota (Universitas Indonesia, Indonesia); Prof. Dr. H.A.R. Tilaar (UNJ Indonesia); serta Dr. Fachruddin M. Mangunjaya, M.Si (Unas Indonesia).

Pada kesempatan itu, Rektor UNJ Prof Dr Djaali meresmikan pembentukan Konsorsium Bidang Ilmu "Biodiversity Crisis Indonesia (BCI)".  

Status Konsorsium BCI adalah sebagai bentuk kerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan - PSL Lembaga Penelitian UNJ. Konsorsium BCI digagas oleh UNJ dan dirintis serta diketuai oleh UNJ melalui kesepakatan kerjasama dengan Univeritas Nasional, Universitas Islam Negeri Jakarta, dan partner dari luar negeri, yaitu Jepang, Belanda, dan Jerman.   

Melalui program kerja 5 tahun, konsorsium ini diharapkan  mengeluarkan produk yang menjadi rujukan untuk menentukan identitas dan status level krisis biodiversitas. Konsorsium ini dibentuk untuk menjawab tantangan paling dekat yaitu terbentuknya komunitas ASEAN 2015 yang dimulai pada akhir  tahun 2015.

Rini menjelaskan, saat ini, beberapa akademisi ahli lingkungan menyatakan bahwa kita berada dalam fase peristiwa kepunahan massal ke-6. Peristiwa kepunahan secara masal ini terjadi akibat kompetisi makhluk hidup di planet ini untuk mendapatkan sumber daya energi. Kondisi krisis biodiversitas ini semakin diperparah dengan adanya perubahan iklim yang terus berlangsung akibat ulah manusia.

"Hilangnya spesies dan degradasi ekosistem yang terjadi dalam waktu singkat menjadi penyebab krisis biodiversitas. Krisis biodiversitas menjadi ancaman yang lebih besar dibandingkan dengan kejadian perubahan iklim global itu sendiri. Krisis biodiversitas ini secara langsung sangat berpengaruh terhadap stabilitas dan kesejahteraan umat manusia di bumi pada masa yang akan datang," katanya.

Biodiversitas di bumi saat ini menurun sangat cepat dan terjadi secara sistematis, yaitu terjadi sekitar 100 - 1000 kali lebih cepat dibandingkan dengan laju kepunahan biodiversitas yang terjadi secara alami.

Tantangan untuk melestarikan beberapa spesies di muka bumi bahkan mungkin menjadi lebih  sulit dibandingkan tantangan untuk mengurangi dampak negatif akibat perubahan iklim global.  Untuk mengatasi masalah krisis biodiversitas ini tidak dapat dilakukan parsial dan sangat perlu komitmen yang kuat untuk secara terus menerus mulai dari mengurai masalah ditingkat yang paling sederhana yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Bukan sekedar membutuhkan "political will", namun juga tingkat pengetahuan ilmiah yang kuat dan sikap arif untuk menjamin masa depan yang aman bagi planet ini. (*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014