Menolak eksepsi penasihat hukum terdakwa Artha Meris Simbolon untuk seluruhnya
Jakarta (ANTARA News) - Hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi menolak keberatan (eksepsi) direktur PT Kaltim Parna Industri Artha Meris Simbolon dalam kasus dugaan pemberian suap kepada mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Rudi Rubiandini sebesar 522.500 dolar AS.

"Menolak eksepsi penasihat hukum terdakwa Artha Meris Simbolon untuk seluruhnya. Menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum atas nama Artha Meris Simbolon adalah sah menurut hukum," kata Ketua Majelis Hakim Syaiful Arif dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Syaiful menilai uraian dalam dakwaan jaksa KPK sudah disusun secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana.

"Menimbang bahwa uraian surat dakwaan jaksa penuntut umum sudah memenuhi persyaratan surat dakwaan sebagaimana yang dikehendaki Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP uraian sudah secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan," ungkap Syaiful.

Atas putusan ini, agenda sidang selanjutnya adalah pemeriksaan saksi pada pekan depan.

Dalam keberatannya, penasihat hukum Meris, Otto Hasibuan menilai jaksa tidak dapat menguraikan secara cermat menguraikan pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai unsur memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara.

Otto menilai uang 522.500 dolar AS diberikan kepada Deviardi selaku pelatih golf mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini, yang bukanlah pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Menurut Otto, jaksa tidak menguraikan mengenai peristiwa penyerahan uang dari Ardi kepada Rudi selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara sehingga dakwaan jaksa dianggap tidak jelas dan tidak lengkap.

Dalam perkara ini, Artha Meris didakwa memberikan suap kepada Rudi Rubiandini sebesar 522.500 dolar AS melalui Deviardi agar Rudi memberikan rekomendasi atau persetujuan untuk menurunkan formula harga gas untuk PT KPI kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Kronologi peristiwanya adalah pada awal 2013 Rudi bertemu dengan Marihat Simbolon yaitu Presiden Komisaris PT KPI di kantor SKK Migas, Marihat menyampaikan keluhan tentang tingginya formula harga gas untuk PT KPI dan dapat menyebabkan PT KPI tutup.

Marihat kembali mengulangi keluhannya tersebut kepada Rudi dan meminta cari solusi atas tingginya harga gas PT KPI pada 24 Maret 2013 di Gunung Geulis Country Club. Dalam kesempatan itu Marihat memperkenalkan Artha Meris Simbolon selaku presiden direktur PT KPI dan Deviardi sebagai orang dekat Rudi.

Marihad menjelaskan kepada Rudi bahwa formula harga gas PT KPI lebih tinggi dibanding dengan PT Kaltim Pasifik Amoniak (KPA) padahal sumber gasnya sama-sama dari Bontang.

Selanjutnya terjadi pertemuan-pertemuan antara Deviardi dan Artha Meris untuk menyerahkan uang yang ditujukan kepada Rudi agar PT KPI mendapat rekomendasi penurunan harga gas.

Pertemuan tersebut dilakukan pada akhir April 2013 dengan penyerahan 250 ribu dolar AS dari Artha Meris kepada Deviardi dengan pernyataan "Mas Ardi, ini titipan untuk Pak Rudi".

Kemudian pada April 2013 diserahkan uang 22.500 dolar AS di Plaza Senayan, pada 11 Juli 2013 diserahkan uang 50 ribu dolar AS, selanjutnya 1 Agustus 2013 diberikan 50 ribu dolar AS di McDonald Kemang, dan 200 ribu dolar AS diberikan pada 3 Agustus 2013 di rumah makan Sate Senayan Menteng

Semua uang tersebut disimpan di safe deposit box Bank CIMB Niaga cabang Pondok Indah milik Deviardi, dan setiap penerimaan uang Rudi menjawab "Pegang sajalah".

Atas perbuatan itu, Artha Meris didakwa berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal itu menyebutkan, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, diancam pidana penjara 1-5 tahun dan denda Rp50-250 juta.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014