Jakarta (ANTARA News) - Skema pemberian subsidi dengan besaran tetap perlu kembali dijalankan pemerintah, agar belanja subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat terjaga, kata peneliti ekonomi dari lembaga Katadata.

"Selama ini besaran subsidi BBM dalam APBN sering terkerek dengan fluktuatifnya kurs rupiah, harga minyak internasional dan berbagai faktor lainnya, sehingga besaran subsidi pun ikut berubah dan cenderung terus naik," kata Direktur Pelaksana Katadata Ade Wahyudi dalam paparan terhadap media di Jakarta, Kamis.

Menurut Ade, dengan kebijakan, yang pernah dijalankan di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati ini, besaran subsidi diberikan dalam plafon yang tetap. Misalnya besaran subsidi diberikan sebesar Rp2.000.

Dengan subsidi tetap tersebut, jika terjadi perubahan kurs rupiah atau harga minyak dunia, harga BBM yang akan naik, namun besaran subsidi yang diberikan akan tetap.

"Dengan demikian, harga BBM dapat berubah setiap bulan, sesuai dengan perkembangan harga di pasar, seperti halnya Pertamax," ujar dia.

Dengan demikian, lanjut Ade, besaran subsidi BBM akan terkendali dan tidak menganggu postur APBN.

Selain itu, menurut Ade, kebijakan subsidi tetap, dapat meminimalisir unsur politisasi kebijakan BBM yang dia tengarai kerap terjadi antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Disinggung mengenai apakah subsidi tetap dapat menuntaskan masalah distribusi subsidi yang selama ini tidak tepat sasaran, Ade tidak menjawab tegas.

Namun, dia mengatakan kebijakan BBM bersubsidi sebaiknnya secara komprehensif harus dikemas dalam peta jalan (road map) yang rinci.

"Sebenarnya kami lebih mengharapkan ada roadmap (peta jalan) BBM ini dijelaskan. Karena setiap ada masalah, pemerintah seperti terlambat bergerak," ujar dia.

Salah satu masalah utama pengelolaan subsidi, diakui Ade, adalah distribusi subsidi yang tidak tepat sasaran. Menurut Ade, melihat data di 2013, sebesar 53 persen subsidi justru dinikmati pengendara mobil pribadi, bukan masyarakat miskin atau masyarakat berpenghasilan rendah.

Beberapa pengamat ekonomi sebelumnya mengusulkan skema subsidi yang diberikan langsung ke orang atau masyarakat yang berhak menerimanya, bukan subsidi yang diberikan melalui barang seperti selama ini.

"Lebih baik memang ke orang, karena masalah selama ini, subsidi tidak tepat sasaran," kata Ekonom Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014