Jam masih menunjukkan pukul 03.00 WIB ketika Sabaruddin (49) di akhir Desember lalu mengetuk pintu sebuah penginapan (homestay) untuk membangunkan tamunya yang akan mengawali sebuah perjalanan, yaitu menyaksikan keindahan matahari terbit.

Mereka akan melihatnya dari puncak Gunung Sikunir, Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah.

Sabar, panggilan pria tinggi kurus itu, sehari sebelumnya memang telah menawarkan diri untuk menjadi pemandu wisata dan siap untuk mengantarkan tamu menjelajahi seluruh objek wisata yang ada di dataran tinggi yang dikenal dengan julukan Negeri di Atas Awan itu.

"Sekarang musim hujan. Akan tetapi, kalau beruntung, biasanya cuaca akan cerah jika turun hujan pada siang atau malam," kata Sabar membuka pembicaraan dengan rombongan tamu asal Cikarang, Jawa Barat.

Sebanyak delapan orang tamu yang menginap di penginapan milik Ny. Suprihatin sudah siap berangkat untuk memulai petualangan yang akan diawali dengan pendakian puncak Gunung Sikunir yang berada sekitar 2.350 meter di atas permukaan laut. Semua sudah siap dengan jaket tebal, sarung tangan, topi, serta syal untuk mengusir suhu dingin yang mencapai 10 derajat Celsius.

Meski suhu terasa dingin menusuk tulang, terutama bagi mereka yang terbiasa tinggal di Jabodetabek yang panas, Sabaruddin yang sudah terbiasa dengan cuaca dingin hanya menggunakan jaket tipis, sepatu olahraga, dan kain sarung yang berfungsi sebagai syal.

Tepat pukul 03.40 WIB, perjalanan menuju Puncak Sikunir pun dimulai dengan mengendarai mobil, menembus kabut tebal melewati daerah perkebunan kentang dan kol. Sabar yang sudah sangat hapal dengan kondisi daerah tersebut bertindak sebagai navigator, tidak ubahnya seperti pereli mobil, yang memberikan instruksi untuk harus belok ke mana karena jarak pandang yang tidak lebih dari 3 meter.

Peran Sabar yang hanya tamat SMP tersebut benar-benar penting karena salah belok sedikit bisa berakibat fatal. Tidak tertutup kemungkinan mobil meluncur deras ke dasar jurang yang relatif cukup dalam jika salah arah.

Meski puncak Sikunir berada di ketinggalan lebih dari 2.000 meter, pengunjung tidak harus mendaki setinggi itu karena pendakian akan diawali dari sebuah area parkir mobil di sebuah danau kecil yang bernama Telaga Cebong. Di pinggir telaga itu terdapat sebuah lahan parkir cukup luas yang bisa menampung puluhan mobil.

Dari tempat parkir itu, pengunjung harus melanjutkan perjalanan ke puncak sekitar dengan berjalan kaki kurang lebih 700 meter. Meski pendek, bukit yang harus didaki cukup curam dan dibutuhkan waktu antara 30 menit dan satu jam.

Sesuai dengan namanya, Sabar pun dengan sabar memandu tamunya yang terdiri atas lima orang dewasa dan tiga orang anak SD yang tiap sebentar minta berhenti untuk mengambil napas, atau saat bertemu jalan yang licin dan berbatu.

Ketika sampai di puncak setelah berjuang sekitar 45 menit, ternyata ratusan orang sudah lebih dahulu sampai di sana, bahkan sebagian di antaranya mereka sudah mendirikan tenda. Mereka datang dengan tujuan sama, yaitu berburu matahari terbit yang dikenal dengan sebutan Golden Sunrise.

Hampir setiap pengunjung sudah berada pada posisi terbaik dengan menyiapkan senjata masing-masing, yaitu kamera untuk merekam saat-saat matahari berwarna keemasan menyembul dari balik Gunung Sindoro. Tidak sedikit dari anak-anak muda yang sudah "mempersenjatai" diri dengan "tongsis" (tongkat narsis), yaitu tongkat yang digunakan untuk foto diri (selfie).

Tanpa dikomando, teriakan gembira karena kagum akan keindahan alam pun menghiasi suasana dan untuk sementara mengusir rasa dingin ketika warna keemasan secara perlahan muncul dari ufuk timur. Cahaya kilat dari berbagai jenis kamera pun membuat suasana pagi tersebut semakin meriah. Sebagian besar pengunjung adalah anak-anak muda yang akan menghabiskan liburan akhir tahun mereka di alam bebas.

Sekitar pukul 07.00 WIB, saat suasana sudah terang benderang, Puncak Sikunir pun ditinggalkan pengunjung yang beruntung karena cuaca cerah sehingga bisa menyaksikan matahari terbit dengan jelas. Pada musim hujan bulan Desember, tidak sedikit pengunjung yang kecewa karena setelah bersusah payah menuju puncak, hanya menyaksikan awan tebal yang menyelimuti matahari terbit.



Menjual Matahari

Sabaruddin hanyalah salah satu dari sosok warga Dataran Tinggi Dieng yang mencoba mencari kehidupan dari sektor pariwisata. Modal utama yang dijual adalah keindahan matahari terbit di daratan tertinggi di Pulau Jawa itu meski terdapat juga beberapa atraksi wisata lainnya, di antaranya Kawah Sikidang, Telaga Warna, dan kompleks Candi Arjuna.

Bekerja sama dengan Ny. Suprihatin, pemilik homestay yang akrab dipanggil Buk Supreh, Sabar menawarkan jasa pemandu kepada setiap tamu yang datang.

Menurut pengakuan bapak dua anak itu, "menjual matahari" adalah pekerjaan sampingan karena profesi utama tetap sebagai petani kentang. Dataran Tinggi Dieng selama ini memang dikenal sebagai sentra penghasil kentang dan kol di Jawa Tengah.

Bersama kedua anak laki-lakinya yang lulusan SMK, Sabar fokus pada pertanian kentang di lahan milik sendiri seluas sekitar 1 hektare.

"Sejak lima tahun terakhir ini, saya mencoba menjadi pemandu wisata. Akan tetapi, saya hanya memandu wisatawan lokal karena saya tidak bisa berbahasa Inggris," kata Sabar yang mengaku sebagai pemandu wisata tertua dari sekitar 100 orang pemandu yang terdaftar di Dieng.

Meski yang tertua, Sabar tidak merasa terlambat untuk menggeluti profesinya karena fisiknya masih relatif cukup kuat untuk mendampingi tamu mendaki Puncak Sikunir dan mengunjungi tempat wisata lainnya. Yang penting, katanya, adalah kemauan untuk terus belajar dan keinginan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada tamu.

Dalam satu bulan terakhir, Sabar pun tidak ketinggalan mengikuti pelatihan bahasa Inggris yang diberikan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Wonosobo, sebagai bagian dari proyek untuk meningkatkan SDM dunia pariwisata daerah itu.

Meski matahari adalah "barang dagangan" yang tidak akan pernah habis, Sabar mengaku belum bisa menjadikannya sebagai penghasilan utama mengingat tidak semua tamu memilih menginap Dieng, tetapi di Wonosobo yang mempunyai fasilitas hotel lebih lengkap dan hanya berjarak sekitar 30 km.

Hal yang sama juga diakui Ny. Suprihatin, pemilik homestay dengan empat kamar tidur. Menurut ibu dari dua anak ini, hampir seluruh tamunya adalah wisatawan lokal dan tidak pernah menerima tamu asing.

"Pemasaran homestay saya ini hanya berdasarkan dari mulut ke mulut. Akan tetapi, saya tetap bayar pajak karena sudah terdaftar," kata Suprihatin yang enggan menyebutkan jumlah pendapatan dari sewa homestay tersebut.

Hubungan yang terjadi antara tamu dan pemilih homestay maupun dengan pemandu, tidak terjalin berdasarkan sebuah ikatan bisnis semata, yaitu antara pembeli dan penjual jasa, tetapi lebih pada sebuah hubungan kekeluargaan.

Meski sebelumnya sempat terjadi negosiasi soal harga untuk jasa pemandu, tawar-menawar tersebut lebih pada sekadar basa-basi karena selesai menjalankan tugas, Sabar langsung memasukkan uang jasa pemandu yang diberikan ke kantongnya seolah menerima uang tip, tanpa merasa perlu menghitung lagi apakah jumlah tersebut sudah sesuai dengan yang disepakati.

Nyonya Suprihatin juga berkali-kali mengirimkan pesan singkat untuk menanyakan kondisi tamu yang sudah meninggalkan lokasi sekadar untuk mengetahui situasi di jalan mengingat beberapa lokasi di Jawa Tengah yang rawan longsor.

Oleh Atman Ahdiat
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015