Jakarta (ANTARA News) - Film dokumenter Au Lorun (Aku Menenun) garapan sutradara Dodid Wijanarko mengungkap makna tenun di Flores. Alfonsa Horeng, Mama Gonda, Mama Elizabeth dan ibu guru Memi mengajak penonton melihat sehelai kain tenun ikat dari perspektif berbeda.  




Mata penonton yang awam dengan kain tenun diwakili oleh Mesty Ariotedjo, seorang dokter muda sekaligus harpist yang bertemu dengan para penenun dan mempelajari menelusuri seluk beluk di balik tradisi yang telah berlangsung sejak sekitar 500 tahun sebelum masehi.  




Alfonsa Horeng di sanggar Lepo Lorun, Maumere, NTT, mengajari  tahapan rumit pembuatan tenun ikat yang sarat pakem, adat dan doa. 




Setiap motif tenun memiliki arti tertentu, ada yang boleh dipakai untuk sehari-hari, ada pula yang hanya boleh diberikan sebagai mas kawin.  




Dalam kain khusus untuk mas kawin, ada motif yang menyimbolkan kehidupan pasangan yang harus melewati rintangan dalam kehidupan rumah tangga.  




Ibu guru Memi awalnya tidak terlalu antusias belajar menenun. Profesinya sebagai guru taman kanak kanak membuatnya makin mencintai anak kecil dan mendorong keinginannya untuk segera menikah.  




Namun, seorang perempuan harus memberikan mas kawin berupa kain tenun pada keluarga besar mempelai pria. 




Baginya, tenun bukanlah mata pencaharian, tetapi nilai adat.  Mama Elizabeth belajar menenun sejak usia 10 tahun untuk membantu sang ibu yang kerepotan mengurus adik-adiknya. 




Menenun baginya merupakan upaya membantu suami mencari nafkah.  Perempuan itu bertekad untuk melatih anak-anak perempuannya melestarikan tradisi tenun.   




Mama Gonda tidak tamat SD karena ibunya sibuk mengurus adik-adiknya. Kini, dia menjadi pengurus organisasi tenun di kampungnya. Gonda memperlihatkan proses mewarnai tenun dengan pewarna alam seperti kunyit dan daun nila.  




"Selain proses menenun, film ini mencoba melihat sisi lain dari kehidupan penenun," kata Dodid Wijanarko di Jakarta, Selasa.  




 Menurut sineas yang baru berkecimpung di dunia film dokumenter dalam lima tahun belakangan, perjuangan para penenun untuk mempertahankan tradisi di tengah keterbatasan patut untuk diketahui masyarakat.  "Kita hanya tahu indah tenunan flores, tapi tidak dengan kehidupan penenunnya," ujar dia.  




Alfonsa Horeng yang juga datang ke pemutaran perdana "Au Lorun" mengatakan pembuatan tenun yang rumit membuat perempuan penenun menjadi tangguh karena setiap hari terbiasa melewati proses yang panjang.




"Ada 45 tahap, mulai dari memintal kapas hingga tenun jadi," kata pengurus Lepo Lorun atau Rumah Tenun di Flores.  




Tenun, kata Alfonsa, memiliki nilai sakral sehingga tidak bisa digunting sembarangan. Selain tradisi leluhur, tenun juga bisa menjadi tolok ukur kedewasaan seorang anak perempuan.  




"Kalau anak perempuan sudah bisa menenun, dianggap sudah bisa menikah," imbuh dia.  Film berdurasi 75 menit itu dibuat selama sepuluh hari pada Maret 2015. 




Dodid membuka diri bila filmnya ingin dipertontonkan di luar Indonesia, baik sebagai bahan pembelajaran maupun hiburan.    




Au Lorun merupakan bagian dari Plaza Indonesia Film Festival bertema Celebrating Women yang mengangkat kehidupan para wanita di Cinema XXI Plaza Indonesia pada 26-29 Mei 2015.  Festival yang baru pertama kali dihelat  juga menayangkan film "The Last Five Years", "7 Hati 7 Cinta 7 Wanita", "Two Days One Night", "Selamat Pagi, Malam" dan "Siti".

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015