Semua (korban tewas) berasal dari satu keluarga
Kandahar, Afghanistan (ANTARA News) - Bom meledak di pinggir jalan pada Sabtu (21/6) dan menewaskan setidaknya 14 anggota sebuah keluarga Afghanistan, termasuk perempuan dan anak-anak, di bagian selatan negara bergejolak itu, kata para pejabat.

Insiden itu merupakan serangan besar pertama di bulan suci umat Muslim, Ramadan.

Tidak ada kelompok yang segera menyatakan bertanggung jawab atas serangan, yang terjadi di distrik Marja provinsi Helmand, itu. Wilayah tersebut merupakan sarang gerilyawan Taliban, yang sedang meningkatkan serangan musim panas tahunannya.

Para milisi baru-baru ini menolak permintaan dari para pemuka Afghanistan untuk menghentikan serangan selama Ramadan walaupun gelombang kekerasan telah membuat jumlah korban tewas melonjak.

"Empat belas warga sipil tewas dan lima lainnya terluka dalam sebuah ledakan bom rakitan di distrik Marja di provinsi Helmand. Semua (korban tewas) berasal dari satu keluarga," kata wakil gubernur Helmand Mohammad Jan Rasolyar kepada AFP.

Ia mengatakan kendaraan mereka terhantam bom tak lama sebelum tibanya saat berbuka puasa Ramadan, bulan yang dimulai pada Kamis.

Kepala kepolisian Helmand Nabi Jan Mullah Khel menyebut jumlah yang lebih banyak, dengan mengatakan 16 anggota keluarga tewas ketika mereka kembali menuju rumah di Marja, dua hari setelah mereka pergi menghindari kemungkinan serangan militer di daerah tersebut --untuk menumpas para gerilyawan.

Haji Fateh Mohammad, seorang pemuka suku dari wilayah itu, mengatakan ia menghitung ada 15 jenazah ketika dirinya membantu mengeluarkan mereka dari bangkai kendaraan.

Distrik Maja di provinsi Helmand --yang dipenuhi Taliban-- merupakan pusat serangan militer pimpinan Amerika Serikat, yang dirancang untuk membersihkan keberadaan kelompok itu pada awal 2010.

Para gerilyawan meluncurkan serangan di sebuah pedesaan pada akhir April, meningkatkan serangan ke target-target pemerintah dan asing --dalam apa yang diperkirakan menjadi musim pertempuran paling berdarah dalam satu dekade.

Taliban, yang berjanji akan "melindungi" para warga sipil dalam serangan mereka, dikenal kerap menjaga jarak dengan serangan-serangan yang berujung pada banyaknya korban tewas di kalangan sipil.

Gelombang serangan gerilyawan telah menimbulkan begitu banyak korban tewas di kalangan warga sipil Afghanistan, demikian menurut misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afghanistan.

Hampir 1.000 warga sipil tewas dalam empat bulan pertama tahun ini. Jumlah tersebut meningkat tajam dibandingkan periode yang sama tahun lalu, kata misi tersebut.

Pihak berwenang Afghanistan telah berkali-kali berupaya untuk memulai perundingan dengan Taliban, dengan harapan konflik 13 tahun itu akan berakhir. Namun, pihak gerilyawan telah menentukan syarat-syarat berat, termasuk bahwa semua pasukan asing di Afghanistan harus ditarik.

Misi tempur NATO telah secara resmi berakhir pada Desember namun pasukan asing kecil, sebagai penindak lanjut, yang berkekuatan 12.500 personel --sebagian besar adalah tentara Amerika Serikat-- tetap tinggal di Afghanistan untuk melatih dan mendukung personel keamanan setempat.

Pemerintahan Presiden Ashraf Ghani telah dihujani kritik karena gagal mengakhiri berkembangnya serangan-serangan gerilyawan.

Para pengkritik menyalahkan terjadinya serangan sebagian karena pertikaian politik dan terlalu lamanya penundaan terhadap penunjukan kandidat untuk menjabat menteri pertahanan.

Ghani bulan lalu mencalonkan Mohammad Masssom Stanekzai untuk mengisi posisi itu. Stanekzei adalah seorang pejabat tinggi pada badan pemerintahan yang menaungi proses perdamaian negara itu.

Posisi menteri pertahanan telah kosong selama berbulan-bulan karena adanya ketidaksepakatan antara Ghani dan kepala eksekutif serta bekas saingannya pada pemilihan presiden, Abdullah Abdullah. Namun, Stanekzai diperkirakan akan segera disahkan sebagai menteri oleh parlemen Afghanistan.
(Uu.T008)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015