Jakarta (ANTARA News) - Republik Indonesia dinilai tidak akan bernasib sama seperti Yunani yang saat ini mengalami kebangkrutan dan mendapatkan status "default" atau gagal bayar utang dari berbagai lembaga keuangan multilateral seperti IMF.

"Indonesia tak akan bangkrut seperti Yunani," kata Staf Khusus Kementerian Keuangan Arif Budimanta dalam diskusi yang digelar Humas MPR sebagaimana terdapat dalam rilis MPR RI yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Arif yang merupakan mantan Anggota MPR/DPR dari Fraksi PDIP itu membandingkan utang Yunani yang sudah mencapai 200 persen lebih, sedang utang Indonesia masih 25 persen.

Selain itu, ujar dia, defisit fiskal Yunani mencapai 60 persen, sedang Indonesia kurang dari 1,9 persen. "Dari sisi pertumbuhan ekonomi kita positif sedang Yunani negatif," ujarnya.

Untuk itu, ia mengajak berbagai pihak untuk optimistis dan tidak perlu ada ketakutan apalagi kebijakan pemerintah selama ini diakui pro-rakyat.

Arif mengemukakan, hal tersebut dapat dilihat antara lain dari politik anggaran yang berpihak pada pembangunan desa, di mana anggaran desa naik dari Rp9,7 triliun tahun sebelumnya menjadi Rp21 triliun pada tahun ini.

Sebelumnya, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menuturkan Indonesia kini masih jauh dari krisis ekonomi seperti yang pernah terjadi pada 1998 akibat melemahnya mata uang rupiah.

"Kalau dilihat angka sepertinya sudah dekat, dulu Rp15.000 sekarang kita sudah Rp13.400. Meskipun angkanya mirip, tetapi situasinya sangat berbeda," ujar dia di Jakarta, Kamis (2/7).

Pada 1998, kata dia, inflasi mencapai 78 persen karena rupiah melemah sehingga orang-orang berlomba menarik dana dari perbankan dalam bentuk tunai dan BI mencetak uang dalam jumlah besar.

Sedangkan sekarang, Tony mengatakan inflasi "year on year" sebesar 7,15 persen, jauh dibanding pada 1998.

Selanjutnya, suku bunga deposito pada 1998, tutur dia, mencapai 60 hingga 70 persen sehingga bunga deposito lebih tinggi dari bunga kredit yang hanya 24 persen.

"Akibatnya terjadi negatif spread, maka bank-bank kolaps, termasuk bank-bank besar pemerintah. Sedangkan sekarang tidak ada bank yang kolaps. Jadi kondisi 1998 jauh lebih dahsyat jeleknya dibandingkan 2015," katanya.

Sementara itu, Bank Indonesia menilai dampak krisis di Yunani terhadap kondisi perekonomian Indonesia relatif tidak besar karena selain sudah dapat diantisipasi juga disebabkan membaiknya fundamental ekonomi domestik.

"Kita lihat sebetulnya dampak Yunani ke Indonesia di saat ini tidak besar, malah Yunani yang sudah makin timbulkan risk on dan risk off dunia, ada unsur price in juga. Negara Eropa percaya kalau dampak Yunani pun dapat diantisipasi," kata Gubernur BI Agus Martowardojo saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (1/7).

Gubernur BI juga menuturkan, pihaknya selalu mengikuti perkembanga terbaru terkait kondisi perekonomian Yunani dan pihaknya merasa prihatin dengan apa yang terjadi di negara tersebut.

Agus mengingatkan pentingnya untuk terus memantau dan memperhatikan perkembangan ekonomi dunia seperti normalisasi kebijakan The Fed, pelemahan ekonomi Tiongkok, dan kondisi ekonomi Eropa, serta dampaknya terhadap ekonomi di Tanah Air.

"Ternyata di Indonesia saat ini harus diakui fundamental cukup baik dari dua tahun lalu dan inflasi juga terjaga," kata Agus.

Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015