Kalau ada delik umum tetap dihargai delik khusus yang ada karena kewenangan KPK kan tidak dipangkas
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menegaskan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak akan dilumpuhkan berkaitan dengan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

"Ada perbedaan pandangan, yang pasti tidak akan KPK jadi lumpuh gara-gara itu," kata Yasonna di gedung Kementerian Hukum dan HAM Jakarta, Jumat.

Komisi III dan Kemenkumham mewakili pemerintah sedang membahas RUU KUHP, namun rancangan itu memasukkan delik korupsi sehingga dapat berdampak pada KPK yang merupakan lembaga penegak hukum yang khusus mengurus korupsi (lex specialis) dan bukan bersifat umum seperti KUHP (lex generalis).

"Karena di buku kesatu juga diatur bahwa ini delik umum. Kalau ada delik umum tetap dihargai delik khusus yang ada karena kewenangan KPK kan tidak dipangkas," tambah Yasonna.

Yasonna menjamin RUU KUHP bertujuan untuk membuat kodefikasi hukum Indonesia.

"Tidak berarti BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) menjadi bubar dengan delik terorirsme ada di KUHP. Delik pencucian uang jadi hilang, ya enggak. Ini kan tetap kewenangan penegakan hukum. KPK tetap dipertahankan. Lex specialisnya ada di dalam buku satu yang belum dibahas ada ketentuan itu. Orang liatnya sepotong-sepotong," tegas Yasonna.

KPK sendiri, seperti dinyatakan Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji, telah meminta agar tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang tidak dimasukkan ke RUU KUHP.

"Kami sudah mengajukan surat kepada pemerintah tentang RUU KUHP, pada intinya kami menyampaikan delik-delik tindak pidana korupsi (tipikor) tidak diintegrasikan ke dalam RUU KUHP, karena integrasi tersebut akan bermakna bahwa delik tipikor bukan lagi sebagai tindak pidana khusus, tapi menjadi tindak pidana umum. Akibatnya justru akan terjadi deligitimasi wewenang KPK memeriksa kasus tipikor. Begitu pula dengan delik-delik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) agar tidak diintegrasikan ke dalam RUU KUHP dengan akibat yang sama terhadap KPK," kata Indriyanto.

Alasan lain adanya asas "Lex Specialis" pada RUU KUHP secara tegas dan jelas menyatakan tetap mempertahankan delik-delik tindak pidana korupsi yang tidak berdampak pada delegitimasi kelembagaan KPK.

"Andai tetap saja delik tipikor diintegrasikan kepada RUU KUHP, harus ada penegasan bahwa penegak hukum, termasuk KPK, tetap memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan kasus tipikor atas delik-delik tipikor yang ada di dalam RUU KUHP maupun di luar KUHP. Tanpa masukan ini, dikhawatirkan terjadi delegitimasi kewenangan KPK atas kasus-kasus korupsi," jelas Indriyanto.

RUU KUHP memuat 766 pasal atau bertambah 197 pasal dari KUHP yang hanya memuat 569 pasal.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015