Ia pelatih berkelas dunia, bukan sekedar manajer, tetapi pribadi yang unggul
Jakarta (ANTARA News) - Dia, Mauricio Pochettino, pelatih Tottenham Hotspur, kini masuk dalam salah satu kandidat pelatih yang diincar bos Chelsea Roman Abramovich untuk menggantikan Guus Hiddink pada musim depan.

Di bawah proyek besar bernama Revolusi mental, pelatih berpaspor Argentina ini tidak berdiri di menara gading kata-kata di podium sarat tepuk tangan dari pendengar dalam rapat akbar di hotel berbintang bersuhu sejuk. Sejak 2014, prestasinya mengkilap. Ia membuat Tottenham menjadi salah satu tim elite di jajaran Liga Inggris (Premier League) dengan meluncur ke posisi empat besar.

Yang lebih yahud lagi, pria yang dibesut Hotspur sejak 2014 itu, tidak sekedar mencari makan di negeri orang, tetapi memberi sumbangsih kepada timnas Inggris dengan menemukan kemudian melatih bakat-bakat muda. Pria bernama lengkap Mauricio Roberto Pochettino Trossero ini mengandalkan tips mendidik dan memberi edukasi yang benar kepada pemain muda berbakat.

Betapa tidak? Selama dua musim membesut Southampton (2013-14), dia menemukan dan mengembangkan gaya permainan Adam Lallana dan Luke Shaw.

Alhasil, keduanya kontan dipanggil masuk dalam skuad Timnas Inggris. Selain itu, Inggris yang oleh sejumlah pandit sepak bola setempat disebut tengah mengalami paceklik prestasi global, justru bakal dihuni bakat-bakat moncer dalam diri Harry Kane, Tom Carroll, Eric Dier, dan Dele Alli.

Pochettino memberi segudang contoh prestasi, bukan mengandalkan kata-kata belaka. Ia meninggalkan "legacy" membanggakan ketika menangani Espanyol pada kurun 2009-2012.

Melakoni 161 laga, ia meraih 53 kali kemenangan, dan menelan 70 kekalahan. Di Southampton, ia menjalani 60 pertandingan, dengan memetik 23 kali kemenangan, dan menderita 19 kali kekalahan. Sampai pekan ke-23 klasemen Liga Inggris, di bawah arahan Pochettino, justru Tottenham meraih 45 kemenangan, dan 21 kekalahan dari 89 laga.

Sejak tiba di markas White Hart Lane pada musim panas, ia mengobarkan revolusi mental dengan mengubah skema latihan skuad berjuluk the Lilywhites.

Sedari awal hadir berkiprah bersama pemain dan staf pelatih, ia dipandu makna asali kata edukasi, yang berasal dari kata Latin "e-ducere", yang berarti menuntun keluar, mengantar keluar, bergerak keluar.

Semuanya ini, berkaitan dengan pola pembentukan cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak dan cara belatih yang dirangkum dalam revolusi mental dengan huruf besar. Spurs menjalani transformasi sebenar-benarnya. Ia justru menerapkan metode latihan bergaya spartan, gaya yang sama ketika masih membesut Southampton.

Revolusi mental ala Pochettino, yakni menambah porsi latihan sampai tiga kali selama menjalani pra-musim dengan berfokus kepada aspek kekuatan fisik. Ia mendaulat para pemainnya berjalan di atas hamparan bara-bara api ketika berlatih di St Mary’s Stadium. Sebelum para pemain asuhannya melakukannya, ia justru lebih dulu memberi contoh.

Kehendak dan keberanian memberi contoh merupakan salah satu wujud dari proses pendidikan yang melibatkan aspek pengertian dan keyakinan bahwa apa yang diperintahkan pelatih atau diminta pemimpin, bernilai baik adanya bagi masa depan.

Pochettino menginstruksikan, "perbuatlah seperti yang saya lakukan, berjalanlah di atas hamparan bara api dengan penuh keyakinan diri. Jangan pernah goyah sejengkal pun!"

Sejumlah pemain yang pernah dilatih Pochettino mengaku bahwa Senin sampai Jumat merupakan "hari penyiksaan" karena harus menjalani latihan bergaya spartan, sementara Sabtu dan Minggu merupakan "hari sukacita dan kedamaian" karena tim melakoni laga.

Revolusi mental diterjemahkan kemudian dijalani oleh Pochettino dengan datang ke lapangan latihan pada pukul 7 pagi kemudian selesai latihan pada pukul 7 petang. Setiap Senin pada pekan tertentu, para pemain boleh beristirahat, Selasa sampai Jumat kembali berlatih keras.

Selama melatih di Espanyol, ia mengawasi betul pergerakan para pemain dalam latihan dengan perangkat teknologi GPS. Setiap Jumat, digelar bahasan taktik dengan menyaksikan tayangan video dari tim lawan yang bakal mereka hadapi.

Striker Dani Osvaldo yang bermain di Espanyol dan memperkuat Southampton mengutarakan, "Ia (Pochettino) membuat anda bekerja dan berlatih layaknya anjing. Terkadang anda membunuh dia, tetapi semuanya itu berjalan dan berguna di masa depan."
'
Pochettino bukan tanpa kritik. "Ia cenderung punya pemain-pemain favorit," kata sebuah sumber, sebagaimana dikutip dari Daily Mail. "Hal ini okey saja berjalan di Southampton yang nota bene baru berkembang sebagai tim. Di Spurs, hal itu berbahaya, karena para pemain lebih berkelas."

Tim asuhan Pochettino tampil energik, terus menekan lawan. Para pemain menggempur pertahanan lawan layaknya anjing yang siap memburu bola. Ia kerapkali mengandalkan tiga gelandang serang dan sederet pemain depan.

Dalam skema sepak bola modern, ia mengembangkan dan menerapkan operan-operan pendek yang cepat. Di lini pemain belakang, ia mengharuskan kepada mereka berlari sejauh 40 yard di lapangan, dan memerintahkan satu dari dua gelandang beroperasi di kotak penalti lawan, kemudian memberi kesempatan kepada penjawa gawang mengoper bola kepada rekan tim dengan tepat.

Ketika masih melatih Southampton, ia secara kontinyu menurunkan pemain muda Ward-Prowse (19 tahun), dan memberi kesempatan melakukan debut di Liga Inggris kepada bek Calum Chambers (19 tahun), striker Sam Gallagher (18), dan gelandang Harrison Reed.

Pemain Southampton Jay Rodriguez, yang pernah merasakan polesan Pochettino mengaku, "Ia selalu memberi yang terbaik kepada kami. Bekerja bersama dengan dia merupakan hal yang demikian brilyan. Ia menuntut kami bekerja keras agar beroleh hasil memuaskan."

Kata kunci dari revolusi mental yang dibawa dan diterapkan Pochettino yakni daya kekuatan dari "habitus", atau pola kebiasaan berperilaku dan bertindak. Sebagai murid dari pelatih kenamaan Argentina Marcelo Bielsa, ia yakin bahwa perubahan sistem yang efektif hanya bisa diraih dengan kerja, kerja, kerja!

Bielsa yang pernah melatih Pochettino di klub Newell’s Old Boys menanamkan habitus bahwa trofi dalam sepak bola diperoleh hanya dengan keteguhan cita-cita, meminjam istilah kerennya, pendekatan yang idealistis, bukan menempuh jalan pintas ingin mendapat hasil instan belaka.

Visi Pochettino yang mewarisi visi Bielsa, justru mengkritik kredo bahwa orang akan berubah menurut arah desain (kebijakan) setelah menerima stimulus berupa insentif dan disinsentif tertentu. Dengan bahasa lugasnya, "kasih aja uang banyak, maka ia atau mereka akan berlari kencang memburu bola dan mencetak gol".

Visi kedua pelatih Argentina yang beraroma revolusi mental itu, justru ingin menekankan kekuatan daya habitus. Di mata keduanya, habitus manusia tidak seelastis seperti yang diduga, atau tidak juga mudah berubah sedemikian cepat setelah menerima iming-iming insentif berupa uang. "Habitus dies hard".

Sebagai ilustrasi, Pep Guardiola ketika masih melatih Barcelona mempunyai pendapat unik mengenai taktik Espanyol di bawah arahan Pochettino.

"Ada begitu banyak tim yang menunggu anda. Hanya saja, kali ini Espanyol menunggu anda. Saya merasa sangat dekat dengan karakter sepak bola yang mereka (Espanyol) terapkan," kata Guardiola yang kini melatih bayern Muenchen.

Di bawah payung revolusi mental yang dipandu revolusi berperilaku dan bertindak, Pochettino masih kerap menolak diwawancarai secara langsung, keberatan menjalani wawancara setelah pertandingan (post-match interviews), bahkan merasa lebih afdol menjawab pertanyaan wartawan secara tertulis. Ia lebih memilih banyak terlibat dengan anak-anak asuhannya ketimbang banyak berbicara kepada media massa Inggris.

Pochettino hanya ingin menjadi pribadi. "Ia pelatih berkelas dunia, bukan sekedar manajer, tetapi pribadi yang unggul," kata Adam Lallana yang kini membela Liverpool.

"Ia pribadi yang banyak menyediakan waktu bagi para pemain asuhannya. Ia mengajarkan kepada kami cara menjadi seorang pribadi. Semuanya itu karena ia pribadi yang berpembawaan tenang," kata Lallana.
(T.A024)    

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016