Jakarta (ANTARA News) - Di Balai Kirti Istana Kepresidenan Bogor, Presiden RI Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menorehkan buah pemikirannya dalam batu prasasti "Setiap Presiden Ingin Berbuat yang Terbaik bagi Bangsa dan Negaranya".

Buah pemikiran itu bermakna filosofis yang mendalam di tengah kewajaran bahwa lebih sering seorang kepala negara terseret atau bahkan diseret dalam pusaran kepentingan politik yang merugikan atau menguntungkan kelompok tertentu.

Bukan semata SBY bahkan penerusnya kini Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengalami hal yang sama.

Kedua tokoh bisa jadi sepakat bahwa keduanya ingin berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara, namun konstelasi politik kerap kali membuat kebijakan yang diambil tidak bisa dipisahkan dengan sikap dan respon bernada politis dari berbagai kalangan.

Sebagai Presiden, sebagaimana SBY dulu, Jokowi memiliki sikap yang serupa untuk misalnya menjadikan BUMN Indonesia lebih baik.

Ketika SBY berkuasa selama dua periode, wacana menjadikan BUMN Indonesia untuk menjadi kompetitor sebanding dengan Temasek Holding di Singapura telah digaungkan.

Beberapa di antaranya termasuk BUMN pupuk dan Semen bahkan telah sempat dikonsolidasikan dalam satu BUMN induk.

Mimpi itu kini mulai dilanjutkan dalam Pemerintahan Jokowi-JK, ketika holding BUMN kembali diwacanakan untuk direalisasikan.


Lokomotif Ekonomi

Presiden Jokowi sejatinya ingin agar BUMN apapun bentuknya harus mengambil peran sebagai lokomotif penggerak perekonomian nasional.

"BUMN jangan pikir untung rugi tapi berikan multiplier effect. Kita ingin BUMN tidak jago kandang, tapi berani serang negara-negara lain untuk kembangkan ekonomi nasional kita," ujar Presiden.

Jokowi bahkan menggelar beberapa kali rapat terbatas dengan tema holding BUMN termasuk saat tepat setahun menjabat dan pada 29 Februari 2016.

Presiden mengatakan bahwa diperlukan peta jalan (roadmap) untuk menjadikan BUMN sebagai penggerak ekonomi nasional yang kuat dan lincah salah satu caranya adalah dengan memperkuat sinergi BUMN.

"Kita ingin peta jalan roadmap yang jelas agar BUMN kita kuat dan lincah, berani bersaing di era persaingan yang kompetitif ," ucap Presiden.

Presiden meminta agar peta jalan dalam bentuk holding atau virtual holding dan harus segera diputuskan.

"Agar kekuatan BUMN dan kelincahan itu bisa segera dilakukan terutama (saat) MEA dan langkah strukturisasi, fokus bisnis," ucap Presiden.

Presiden juga menggarisbawahi bila diperlukan agar dilakukan resizing ekonomi dan peningkatan budaya kerja.

"Itu agar BUMN kita punya daya saing yang kuat terhadap kompetisi global dan MEA," ujar Presiden.

Presiden Jokowi kemudian menginstruksikan Menteri BUMN Rini Soemarno untuk melakukan holding secara menyeluruh terhadap BUMN yang ada.

Rini mengatakan holdingisasi dilakukan dengan pertimbangan bisa meningkatkan efisiensi, memberikan tambahan kemampuan untuk pendanaan, sehingga menuju kemandirian secara finansial.

"Jadi kalau kita lakukan pembangunan-pembangunan itu, tidak tergantung pada APBN. Ini yang paling utama," kata Rini.

Teknisnya holding akan dilakukan per sektor kemudian akan dilihat BUMN yang bergerak pada sektor yang sama sehingga bisa dipisah-pisahkan aset yang mereka miliki agar lebih efisien.

Presiden kemudian meminta Rini untuk menganalisis dari sisi hukum.

"Yang paling utama terus terang memang sektor jalan tol. Sektor konstruksi. Karena konstruksi kan juga banyak sekali ya karya karya, kita konsentrasikan lebih dulu ke yang membangun jalan tol. Karena kan memang kita membutuhkan betul pembiayaan untuk pembangunan jalan tol di Sumatera, Kalimantan, di Jawa sendiri, begitu juga di Sulawesi," katanya.

Holding BUMN boleh jadi merupakan satu dari sekian banyak impian Presiden untuk Indonesia yang lebih baik.

Namun apapun bentuknya kini, BUMN idealnya menjadi sumber kemakmuran bagi masyarakat.

Untung rugi diharapkan bukan menjadi tujuan akhir bagi sebuah perusahaan yang menggunakan pelat berwarna merah.


Banyak Kendala

Sejatinya konsep holding untuk perampingan jumlah BUMN di Indonesia sudah digelontorkan sejak 1998, dengan ide holding BUMN melalui pengelompokan BUMN ke setiap industri mulai diwacanakan pada pada era Menteri BUMN pertama yakni era Tanri Abeng.

Pada praktiknya pembentukan holding terhadap sejumlah persoalan.

Pengamat BUMN dan juga mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menyebut ada beberapa kendala yang menyebabkan pembentukan holding berjalan lambat, salah satunya datang dari pemberian wewenang dari salah satu kementerian.

Ego sektoral dari suatu kementerian yang tidak mau menyerahkan sepenuhnya wewenang untuk pengaturan dan pengelolaan BUMN kepada Kementerian BUMN menyebabkan kerap muncul perbedaan persepsi antar kementerian di dalam program holding BUMN.

"Kewenangan Kementerian Keuangan enggak sepenuhnya diserahkan kepada BUMN. Seperti untuk pembentukan holding, privitasi, likuidasi dan merger. Itu kewenangannya nggak diserahkan ke Menteri BUMN sehingga prosesnya lama," kata Said.

Kendala lainnya adalah intervensi politik yang kerap menggangu proses korporasi BUMN termasuk di dalamnya pembentukan holding.

Selain dari eksternal, hambatan juga datang dari internal perusahaan pelat merah yang kerap kali menolak pembentukan holding karena beberapa alasan.

"Kendala internal seperti dari beberapa pimpinan BUMN dan Serikat Pekerja yang takut kehilangan posisi atau jabatan," jelasnya.

Padahal jika dilihat dari sisi manfaat, pembentukan holding terbukti berhasil memicu kenaikan kinerja keuangan seperti pada holding BUMN semen dan pupuk.

Namun Said menegaskan syarat holding salah satunya adalah Chief Executive Officer (CEO) holding berasal dari kalangan profesional yang kompoten di bidangnya.

Oleh Hanni Sofia Soepardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016