Jakarta (ANTARA News) - “Hei... Aku Michela, bukan Francesca… Siapa Fransesca?,” kata Direktur Pusat Kebudayaan Italia (Istituto Cultura di Italia) di Jakarta, Michela Magri, dari panggung kecil pada Jumat siang itu. Hadirin tertawa keras karena komentar jenaka itu terlontar dari Michela dengan Enrico Rava di sisinya. 




Enrico Rava —artis terompet jazz kondang Italia— dalam jas santai putih dan celana putih, tertawa-tawa saja. 




Dia salah ucap nama sang direktur itu, karena Francesca adalah nama istrinya. “Itu dia, yang saya maksud adalah Michela,” kata Rava terkekeh-kekeh, masih dengan tangan memegang terompet andalannya. 




Dia baru saja ber-jam session dengan beberapa musisi jazz Indonesia di Pusat Kebudayaan Italia itu, di hadapan kalangan terbatas. Kwartet jazz Italia itu diundang khusus untuk bertegur-sapa dengan musisi Indonesia sebelum panggung untuk mereka digelar di arena Java Jazz 2016 kali ini. 




Segera setelah setting gitar listrik, snare drum, dan piano, dia menyilakan siapa saja yang bisa memainkan gitar bass untuk mendampingi mereka. Sampai akhirnya musisi Indonesia, Agam Hamzah, maju memainkan gitar Gibson-nya. 




Menit demi menit berlalu dengan komposisi jazz yang ditulis langsung oleh Rava. Simak lagu pertama, The Trial, yang nada pembukanya tidak mudah ditebak. 




“Komposisi lagu-lagunya Enrico ini sangat bagus dan unik. Misterius banget dan bukan tipe yang, istilahnya, baca partitur lalu langsung bisa dimainkan begitu saja,” kata pianis “cabutan”, Nira Aartsen. Dia memang akhirnya duduk di kursi menghadapi tuts-tuts piano besar (grand piano) hitam. 




Bergantian mereka berenam sahut-menyahut dengan improvisasi yang lepas dan lega. Teknik meniup terompet tingkat tinggi Rava menjadi hal yang unik dan berbeda cita rasa dengan —misalnya— Arturo Sandoval (There Will Never Be Another You), yang santai dan melenakan. 




Musisi jazz di seksi terompet tidak sebanyak musisi dengan spesialisasi di piano, gitar, atau saksofon. Diakui, teknik bermusik dengan terompet itu lebih “berat” ketimbang instrumen musik tiup alias brass section, apalagi jika harus berimprovisasi. 




Aartsen yang lama mengecap pendidikan musik di Eropa berujar lagi, “Selama ini jam session itu seperti wajib dalam khazanah musisi jazz dunia. Tapi kali ini agak beda, unik sekali. Karena chemistry itu langsung tercipta begitu saja dan sangat bernuansa Eropa yang berbeda dengan cita-rasa Amerika Serikat.” 




Tentang yang terakhir ini juga yang dikatakan Hamzah seusai jam session di mana dia memainkan gitar listrik dengan tone agak rendah. 




“Kalau kita ber-jam session, maka lagu yang dimainkan itu sedapat mungkin dikenal semua musisi yang memainkan. Dengan Enrico kali ini beda, kami memainkan lagu gubahannya sendiri dan semuanya bisa padahal tidak pernah berlatih sebelumnya.” 




“Inilah yang membuat musik jazz dia itu cukup unik dan menempati posisi tersendiri dalam jazz,” kata dia. 




Berbeda lagi dengan nomor Theme For Jessica, yang dikatakan Rava: sangat komik. “Lagu ini saya gubah saat seseorang membuat komik dan mengambil Francesca, istri saya, sebagai modelnya,” kata Rava. Komik dengan urutan plot namun penuh logika yang sering meloncat-loncat memang “ada” dalam Theme For Jessica itu. 




Rava memberi ruang seluas-luasnya untuk eksplorasi nada dan tempo serta teknik bermusik jazz bagi semua pemusiknya tanpa kentara “peralihan” antar instrumennya untuk kemudian kembali lagi pada alur awal. 




“Saya tidak memaksudkan musik yang saya bawa ini sebagai jazz-nya Italia atau bagaimana, karena jazz itu sangat universal. Sangat universal,” kata dia. 




Lost Bird menjadi lagu terakhir mereka, yang terdengar di telinga justru sangat jauh dari pengertian kata lost alias “hilang” atau bisa juga “tersasar”. Burung mengelana tinggi di udara dan akhirnya hilang dari pandangan mata dalam penerbangannya. Rava, kelahiran Trieste, Italia, pada 1939 itu, juga mengelana dalam nada demi nadanya.




Perbedaan generasi, bagi Rava, jelas bukan masalah dan “jurang usia” ini justru mengokohkan saling isi harmoni dan jiwa dalam jazz mereka. 

Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016