Surabaya (ANTARA News) - Kehadiran Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Balai Diklat Keagamaan (BDK) Surabaya, Selasa pagi, diiringi senandung para pendidik madrasah dan widyaiswara, "terima lah salam dari kami yang ingin maju bersama-sama".

Senandung ini juga menandai semangat dan antusias mereka untuk terus meningkatkan kinerja dan pengabdian sebagai pendidik para generasi bangsa. Terlebih, sebagaimana disampaikan Kepala BDK Surabaya, M Toha, kehadiran Lukman di BDK Surabaya adalah sejarah baru kunjungan perdana seorang Menteri Agama.

Oleh Kepala Kanwil Kemenag Jatim, Mahfudz Shodar, kehadiran Menag dimaknai sebagai  perhatian dan dukungan yang harus disikapi dengan peningkatan kerja para pendidik sebagai bagian dari ujung  tombak Kementerian Agama di daerah.

“Mari kita jaga dan pelihara Kemenag sebagai wadah tempat berkiprah agar bisa dikembangkan di masa depan,” jelasnya.

Sebagaimana biasa, senyum terus mengembang dari bibir Menag sembari menyalami para peserta diklat yang hadir. Tidak kurang 340 peserta diklat hadir, terdiri atas  160 peserta diklat pra jabatan dan 180 peserta diklat reguler yang terdiri dari: calon Pengawas PAI, Guru Mapel IPA dan Matematika MTs, Guru Mapel Ekonomi MA, serta diklat Publikasi bagi Guru MTs dan diklat hisab rukyat.

Antusiasme para peserta diklat yang memancar disambut dengan pesan tentang pentingnya cinta dalam mengajar. Mengenang sebuah ungkapan yang dipelajarinya  saat  di pondok pesantren, Menag berkata, “ath-Thariiqatu ahammu minal maadah. Wal mudarrisu ahammu minath-thariiqah. Wa ruuhul mudarrisi ahammu minal-mudarris”.

Menurutnya, metodologi mengajar lebih penting dari materi yang akan diajarkan. Sehebat-hebatnya metode mengajar, masih kalah penting dari keberadaan seorang guru. Sebab, metodologi tanpa guru hanyalah benda mati. “Keberadaan guru lebih penting dari metode secanggih apapun,” jelasnya.

Namun demikian, lanjut Menag, ruh dan jiwa guru, jauh lebih penting dari pada sekedar kehadiran guru. Menurutnya, guru bisa hadir di ruang kelas kapan saja, tapi kalau tidak disertai ruh dan jiwa, maka keberadaan seorang guru tidak cukup memiliki makna berarti.

“Saya memaknai ruh guru sebagai cinta. Rasa cinta itulah kekuatan luar biasa bagi kita untuk membangun peradaban ke depan. Maka, mengajarlah dengan cinta,” pesan Menag disambut tepuk tangan para guru, widyaiswara, dan peserta diklat lainnya.

“Ini tidak hanya penting bagi para guru, tapi juga bagi kita semua. Karena pada dasarnya setiap kita adalah guru bagi lingkungannya.  Sebesar apapun tantangan yang dihadapi, kalau dihadapi dengan rasa cinta, maka sesuatu yang negatif bisa berubah menjadi positif,” tambah Menag seperti dikutip dari kemenag.go.id.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016