London (ANTARA News) - Biaya liburan keluarga ke Eropa bisa naik hingga 230 pound (3 juta rupiah lebih) jika warga Inggris memilih meninggalkan Uni Eropa bulan depan, kata Perdana Menteri David Cameron pada Selasa.

Kementerian Keuangan Inggris pada Senin mengatakan bahwa memilih keluar dari Uni Eropa bisa menyebabkan penurunan langsung nilai pound sebesar 12 persen, sehingga akan terjadi peningkatan biaya untuk makanan, minuman dan akomodasi untuk keluarga, yang bepergian ke luar negeri.

Ulasan menunjukkan bahwa rata-rata, setelah dua tahun, keluarga terdiri atas empat orang akan menghabiskan 230 pound lebih banyak dalam liburan delapan malam di Eropa setelah Brexit, kata perdana menteri. Brexit adalah istilah untuk suara meninggalkan Uni Eropa.

"Semua bukti menunjukkan penurunan nilai pound setelah pemungutan suara meninggalkan Uni Eropa," kata Cameron, Selasa, dalam peringatan terkininya.

"Nilai pound yang lemah berarti penghematan yang dilakukan susah payah tidak akan banyak berarti untuk liburan di luar negeri," katanya, seperti dilaporkan Reuters.

"Pilihan yang dihadapi rakyat Inggris pada 23 Juni ini semakin jelas: kepastian dan keamanan ekonomi dengan tetap bergabung di Uni Eropa, atau lompatan ke ketidakpastian yang akan menaikkan harga, termasuk biaya liburan keluarga," kata Cameron pada Senin.

Ia mengatakan bahwa suara untuk Brexit bisa menyebabkan resesi, jatuhnya nilai pound dan hilangnya setengah juta pekerjaan.

Kampanye agar Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa mengatakan laporan kementerian keuangan itu bias karena tidak menyampaikan dampak positif jika Inggris meninggalkan blok itu, atau pada konsekuensi negatif dari krisis di zona Euro.

Cameron memimpin kampanye untuk menjaga Inggris tetap tergabung dalam Uni Eropa menjelang referendum mengingat hasil referendum itu akan memiliki konsekuensi yang luas bagi perekonomian negara, peran Inggris dalam perdagangan dunia dan status diplomatik global.

"Kajian mandiri menunjukkan bahwa suara untuk meninggalkan (UE) akan memukul nilai mata uang pound, membuat barang-barang impor lebih mahal dan meningkatkan harga di toko-toko," kata Cameron dalam sebuah pernyataan.

Tanggapannya itu menandai pergeseran taktik kampanye di pihak "Masuk", yaitu melalui dorongan untuk membuat hubungan eksplisit antara risiko makroekonomi yang telah mendominasi perdebatan Brexit sejauh ini, dan kemungkinan dampaknya pada kehidupan sehari-hari warga Inggris.

Peringatan itu datang dari analisis pemerintah tentang dampak jangka pendek bagi warga Inggris jika mereka memilih keluar dari Uni Eropa. Kemungkinan itu mencakup penurunan 12 persen nilai sterling, sebuah data yang didasarkan pada penilaian dampak eksternal, dan meramalkan efeknya pada harga setelah dua tahun.

Ulasan mengatakan belanja makanan dan minuman mingguan rata-rata keluarga akan naik hampir 3 persen, atau 120 pound ($174,06) per tahun, dan belanja pakaian dan alas kaki akan naik sebesar 5 persen, atau 100 pounds per tahun.

Andy Clarke, kepala eksekutif jaringan supermarket Asda, mengatakan Brexit akan menyebabkan ketidakpastian pada harga, dan menekankan kembali bahwa perusahaan itu ingin Inggris untuk tetap bergabung di Uni Eropa.

Namun, kampanye pesaing "Keluar" menyangkal analisis pemerintah dengan mengatakan bahwa kebijakan "proteksionis" Uni Eropa mendorong kenaikan harga.

"Tidak apa-apa untuk bisnis besar tapi tidak baik untuk keluarga Inggris," kata pemimpin Vote Leave (memilih keluar dari Uni Eropa), Matius Elliott.

(Uu.G003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016