Bogor (ANTARA News) - Peneliti utama Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT)-LPPM IPB Prof Sobir menilai kehadiran petani Tiongkok yang bercocok tanam di Indonesia membawa sisi positif sebagai keuntungan dan juga negatif sebagai ancaman.

"Keterbukaan dunia, pasar bebas sehingga persaingan semakin ketat, kehadiran petani asing ke Indonesia dapat dilihat sebagai ancaman (negatif) dan sebagai keuntungan (positif)," kata Sobir dalam jumpa wartawan di Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis.

Ia menjelaskan keuntungan dapat dilihat dari etos kerja dan teknologi yang digunakan oleh para petani Tiongkok tersebut.

Sementara itu, disisi jangka panjangnya, keberadaan petani Tiongkok akan mengurangi kesempatan petani lokal dalam memperoleh pekerjaan.

"Jadi perlu ada regulasi betul, Imigrasi harus jelas, izinnya seperti apa bagi mereka yang mau bekerja di Indonesia," kata Sobir.

Menurut Sobir, di era pasar bebas, sudah menjadi kewajaran negara-negara maju mulai ekspansi ke negara berkembang. Hal demikian terjadi, karena sudah menjadi tuntutan seiring bertambahnya jumlah penduduk dunia.

Berdasarkan prediksi jumlah penduduk dunia akan mencapai 9 miliar beberapa tahun kedepan. Berarti semakin banyak jumlah mulut yang harus diberi makan. Sehingga mendorong sejumlah negara yang padat penduduk seperti Tiongkok, untuk melakukan ekspansi, karena di negaranya sudah tidak memungkinkan lagi.

"Ini sudah jadi strategi negara," katanya.

Misalnya Jepang, lanjut dia, saat ini sudah tidak berfikir lagi untuk menjadi negara yang memimpin teknologi, tetapi sudah beralih ke pangan sehingga melakukan ekspansi ke Amerika Selatan.

"Untuk melindungi ancaman tadi, kita buat regulasi, jadi petani asing tidak ada lagi ilegal, dan kita bisa mengambil keuntungan dari kehadiran mereka," katanya.

Regulasi yang dimaksud, pertama sistem imigrasi, siapa yang boleh, siapa yang boleh datang, tidak petani sembarangan tetapi harus ahlinya, dan usahanya tidak pada tempat yang menjadi lahan petani lokal, serta penggunaan bibit, pupuk, maupun tanaman harusnya yang sudah diizinkan oleh karantina Indonesia.

"Ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang hortikultura. Bahwa penggunaan bibit tanaman, pupuk haruslah yang sudah diizinkan oleh badan karantina, tidak boleh menggunakan bibit dari negara asalnya," kata dia.

Kasus petani Tiongkok yang melakukan kegiatan menanam cabai di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menurut Sobir dapat dikenai pasal berlapis dan masuk dalam unsur pidana yang dapat diproses oleh aparat Kepolisian.

"Jika mereka (petani Tiongkok) menggunakan bibit dan pupuk dibawa dari negaranya itu melanggar Undang-Undang, ini sudah diatur, selain kena masalah imigrasi, bisa diproses pelanggaran undang-undang, dan dapat diproses oleh Kepolisian," katanya.

Untuk menindak pelanggaran undang-undang yang dilakukan petani Tiongkok, lanjut Sobir, harus ditindak karena melanggar undang-undang merupakan .

Sebelumnya, Imigrasi Wilayah I Bogor menangkap empat warga negara Tiongkok yang melakukan kegiatan berkebun cabai di lahan seluas dua hektar. Aktivitas tersebut telah dilakukan sejak empat bulan yang lalu, dan mempekerjakan sekitar 38 warga setempat.

Selain menangkap keempat warga Tiongkok, petugas juga menyita barang bukti berupa traktor, benih cabai, bibit, pupuk dan juga pestisida yang dibawa oleh mereka dari negara asalnya.

Tidak hanya di Bogor, kasus petani Tiongkok juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia yang menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. 

Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016