Samarinda (ANTARA News) - Harga cabai tiung di sejumlah pasar tradisional di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, dalam tiga hari terakhir melambung tinggi hingga mencapai Rp200.000 per kilogram, sehingga dikeluhkan konsumen terutama ibu-ibu rumah tangga.

"Saya tidak mengerti mengapa kenaikan harga cabai bisa begitu tinggi, padahal kami sekeluarga kalau makan tidak ada sambal, rasanya kurang nikmat," ujar Nani di Samarinda, Rabu.

Ibu rumah tangga ini batal membeli cabai di Pasar Segiri setelah mengetahui lonjakan harga yang begitu tinggi.

Berdasarkan pantauan di sejumlah pasar tradisional di Kota Samarinda, harga cabai yang ditawarkan penjual di los pasar berbeda-beda tetapi tidak jauh dari nilai Rp200.000 per kilogram untuk masing-masing los dalam satu pasar.

Sementara di dua pasar harganya sama, yakni Rp200.000 per kg. Di Pasar Segiri Samarinda, misalnya, harga cabai tiung dijual Rp200.000 per kg, cabai rawit Rp120.000 per kg, cabai keriting Rp45.000 per kg, dan cabai merah besar Rp40.000 per kg.

Kemudian di Pasar Kedondong Samarinda harga cabai tiung Rp200.000 per kg, cabai rawit Rp70.000 per kg, cabai keriting Rp40.000 per kg, dan cabai merah besar Rp35.000 per kg.

Sedangkan di Pasar Sungai Dama Samarinda harganya relatif lebih murah untuk jenis cabai yang satu, sementara jenis cabai lainnya lebih mahal, yakni cabai tiung seharga Rp150.000 per kg, cabai rawit Rp80.000 per kg, cabai keriting Rp60.000 per kg, dan cabai merah besar Rp50.000 per kg.

Menurut Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Provinsi Kaltim Muhammad Yunus, kenaikan harga yang cukup tinggi pada konoditas cabai telah berlangsung sejak tiga hari lalu, kemudian puncak kenaikan terjadi pada Selasa (3/1) dan Rabu ini.

"Hari ini dan kemarin harga cabai tiung berada pada kisaran Rp200 ribu per kg. Kenaikan harga disebabkan beberapa hal, di antaranya karena cabai didatangkan dari Jawa dan Sulawesi, sehingga pihak yang menentukan harga adalah daerah penghasil cabai. Sementara hasil pemantauan kami, sekarang cabai di tingkat pedagang masih kosong," ujarnya.

Ia memperkirakan tingginya harga cabai karena daerah penghasil sedang mengalami gagal panen akibat banjir, sehingga hanya daerah tertentu, baik di Jawa maupun Sulawesi yang tidak mengalami gagal panen.

Akibatnya, komoditas cabai menjadi barang langka yang kemudian harganya melambung tinggi.

Diperkirakan lonjakan harga yang tinggi tersebut tidak akan lama, karena Samarinda khususnya dan Kaltim umumnya, sering mengalami hal yang demikian.

Dari beberapa kali pengalaman yang lalu, paling lama melambungnya harga berlangsung selama 10 hari, setelah itu harga kembali normal.

"Saya yakin tidak ada penimbunan cabai oleh pemasok, karena daya tahan cabai hanya lima hari, setelah itu tidak segar lagi. Jadi, ini terjadi mungkin karena faktor cuaca yang mempengaruhi keterlambatan pengiriman atau bisa juga karena daerah penghasil cabai sedang gagal panen," ujar Yunus.

Pewarta: M Ghofar
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017