Juba (ANTARA News) - Badan kemanusiaan PBB telah memperingatkan risiko kelaparan di Sudan Selatan sangat nyata karena ribuan orang kekurangan pangan yang parah.

Dalam laporan terakhirnya, yang mengutip keterangan para ahli kehidupan dan keamanan pangan, Kantor PBB bagi Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengatakan rakyat Sudan Selatan tampaknya akan menghadapi tingkat kerawanan pangan yang parah selama musim yang tidak stabil dari Februari sampai Juli 2017.


"Meskipun musim panen, tingkat gizi buruk akut tetap tinggi. Prevalensi Global Acute Malnutrition (GAM), yang dicatat oleh survei SMART yang dilaksanakan antara September dan November 2016, tetap serius atau bertambah buruk (10 persen atau lebih tinggi)," kata OCHA dalam laporan yang disiarkan pada Jumat malam (3/2).

Laporan itu mengatakan berlanjutnya devaluasi Pound Sudan Selatan (SSP), kondisi tak aman di sepanjang jalur jalan penting, panen di bawah rata-rata, dan kurangnya ketersediaan pangan yang terjadi selanjutnya di pasar lokal telah membuat harga melonjak ke tingkat yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Pada November 2016, rata-rata harga sorgum eceran di Aweil, Wau dan Juba 7,7 dolar AS/kilogram, empat kali lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya dan 10 sampai 15 kali lebih tinggi dibandingkan dengan harganya pada November 2013, bulan sebelum wabah konflik meletus.

"Penduduk kota masih berjuang mengatasi, dan sebanyak 400.000 orang di Juba, Wau dan Aweil kini menghadapi kondisi rawan pangan," kata PBB, sebagaimana dikutip Xinhua.

Menurut OCHA, gizi buruk diperkirakan bertambah parah sampai tingkat "kritis" selama musim yang tidak stabil sebab simpanan pangan berkurang dan harga diperkirakan akan naik.

Laporan tersebut mengatakan karena banyak rumah tangga tak bisa memanen tanaman, orang terutama makin mengandalkan ikan dan makanan liar untuk bertahan hidup.

Pada puncak musim yang tidak stabil pada Juli 2016, sebanyak 4,8 juta orang diperkirakan menghadapi kondisi rawan pangan serius.

Selama kuartal terakhir 2016, setelah panen, semua mitra memperkirakan bahwa sebanyak 3,8 juta orang berada dalam kondisi rawan pangan --naik satu juta orang dibandingkan dengan priode yang sama pada 2015.

"Dengan konflik menyulut pengungsian baru, dan kemerosotan ekonomi yang berlangsung terus sehingga membuat harga melonjak, jumlah ini diperkirakan bertambah pada 2017," demikian peringatan OCHA.

(C003)

Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017