Jakarta (ANTARA News) - Koran terkemuka Amerika Serikat, Washington Post, menyebut Presiden Amerika Serikat Donald Trump babak belur dalam pertarungan hukum setelah bandingnya agar Keppres larangan warga tujuh negara muslim masuk AS yang sudah ditolak pengadilan pertama disahkan untuk diterapkan, malah diperkuat oleh putusan pengadilan tingkat banding.

Menurut The Post, Presiden Trump telah menang secara beruntun dalam 18 bulan berturut-turut, namun kemenangan beruntunnya itu berakhir Kamis malam waktu AS ketika pengadilan federal memperkuat putusan pengadilan pertama yang menyatakan Keppres Donald Trump itu tidak konstitusional sehingga tak boleh diterapkan.

Menurut tiga hakim dalam panel pengadilan banding, pemerintahan Trump mengajukan alasan di pengadilan banding bagi Keppres yang dimotivasi oleh kekhawatiran keamanan nasional sebagai "tidak boleh dikaji ulang", kendati Keppres itu berpotensi melanggar hak warga negara dan konstitusi.

Namun pengadilan banding melihat, "Tidak ada preseden yang mendukung klaim 'tidak boleh dikaji ulang' itu, yang bertentangan sekali dengan struktur fundamental demokrasi konstitusional kita."

Pemerintahan Trump kemungkinan besar akan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung menyangkut Keppres larangan untuk imigran tujuh negara muslim ini.

Keppres itu diputuskan terlarang oleh hakim pengadilan negara bagian Washington. Trump langsung mengecam sang hakim karena bagi Trump, menerbitkan Keppres adalah kewenangan hukumnya sebagai presiden AS.

Menurut Trump, presiden ditugaskan untuk membuat negara tetap aman dan larangan untuk imigran tujuh negara muslim itu disebutnya akan membuat AS aman.

Namun pengadilan tingkat banding tidak melihatnya begitu, sehingga satu-satunya cara yang harus ditempuh Trump sekarang adalah mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung AS diisi oleh sembilan hakim yang terdiri dari empat hakim agung liberal dan empat hakim agung konservatif. Posisi hakim kesembilan sedang lowong sepeninggal hakim agung Antonin Scalia meninggal dunia tahun lalu semasa pemerintahan Barack Obama.

Demokrat telah berusaha mengisi hakim kesembilan itu dengan mengajukan hakim Merrick Garland, namun ditolak Republik yang mendominasi parlemen. Kini, calon hakim agung yang dijagokan Trump, Neil Gorsuch, baru memasuki proses konfirmasi awal di Senat. Dia tidak akan otomatis menempati kursi hakim agung kesembilan yang lowong itu sekalipun dia nanti disetujui Senat.

Posisi 4:4 di Mahkamah Agung itu membuat Keppres Trump itu tetap tak bisa diterapkan sehingga larangan kunjungan imigran tujuh negara muslim dan pengungsi ke AS itu tidak akan berarti apa-apa.

Menurut Washington Post, fakta itu akan menjadi masalah besar bagi Trump yang semasa Pemilu sesumbar akan mengubah apa pun yang dibenci rakyat menyangkut Washington dengan membawa kebiasaan manajemen bisnis yang efisien ke birokrasi gemuk pemerintahan.

"Yang tengah dan harus dipelajari Trump dari putusan pengadilan banding ini adalah bahwa pemerintahan bukanlah organisasi bisnis. Ada proses "checks and balances" yang harus diperhatikan. Peradilan bukan wilayah yang bisa dia bujuk atau kendalikan. Dia, tegas sekali, bukan bos sistem peradilan federal," tulis Washington Post.

"Trump lebih mengubah Washington ketimbang Washington yang mengubah dia dalam tiga pekan pertama pemerintahannya. Namun putusan Kamis malam ini membuktikan bahwa bahkan orang seperti Trump yang menganggap eksekutif memiliki kekuasaan yang sangat besar saja, tidak bisa dengan gampangnya memaksakan cara dia menjalankan negara."

Trump boleh saja mengecam dan bersumpah serapah lewat Twitter karena putusan pengadilan yang tidak berpihak kepada dia. Namun, tulis Washington Post, cuitan-cuitan yang ditulis dengan huruf-huruf besar itu "tak bisa mengubah prinsip pemisahan kekuasaan dalam sistem pemerintahan kita, ini adalah fakta yang terpaksa harus diakui Trump yang usia pemerintahannya baru sekitar tiga pekan."


Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017