Perserikatan Bangsa-Bangsa (ANTARA News) - Irak memiliki catatan terburuk untuk kegagalan mengungkap pembunuhan wartawan, kata pengawas jurnalisme pada Rabu. Terdapat 79 pembunuhan wartawan, yang tak terpecahkan, di Irak dan kebanyakan diarah karena pekerjaannya, bukan terperangkap dalam bakutembak, kata Panitia untuk Melindungi Wartawan (CPJ), yang berpusat di New York, dalam laporan disiarkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa. CPJ menyusun "Daftar Pembiaran"-nya dengan mengumpulkan jumlah perkara pembunuhan wartawan, yang tak terpecahkan, antara 1998 dengan 2007 dan membaginya dengan jumlah penduduk negara. Irak menjadi negara paling berbahaya di dunia bagi pers sesudah serbuan 2003 pimpinan Amerika Serikat untuk menggulingkan Presiden Saddam Hussein dan menggelorakan perlawanan serta perselisihan aliran, kata CPJ. Sebagian besar korban tersebut adalah warga Irak. Tiga awak televisi Irak ditembak dan luka sesudah dijadikan sasaran kelompok bersenjata di Bagdad timur, kata Pengawas Wartawan Irak pada pekan lalu. Kamerawan Hameed Hasim dipukul perut dan mulutnya serta akan menjalani pembedahan darurat di rumahsakit Al-Kindi Bagdad, kata dokter di rumahsakit itu. Wartawan Hassan Rikabi dan sopir Azim Habeeb juga luka akibat serangan di jalan Al-Rubaie di ibukota Irak tersebut. Awak itu bekerja bagi televisi Beladi, yang dimiliki partai Dawa dari Perdana Menteri Nuri Maliki. Pengawas itu, yang memantau kekerasan terhadap media, menyatakan 233 wartawan dan karyawan media tewas di Irak sejak 2003. Pasukan keamanan Irak membebaskan wartawan Inggris, yang diculik di kota penting Basra di Irak selatan pada 10 Februari, setelah bakutembak singkat dengan penculiknya, kata pejabat kementerian pertahaan pada pekan lalu. Richard Butler dan penerjemah Irak-nya diculik dari hotel Istana Sultan di Basra oleh 10 pria bersenjata dan bertopeng ketika bertugas untuk jaringan televisi Amerika Serikat CBS. Kantor ulama Syiah penentang Amerika Serikat Moqtada Sadr di Basra menandatangani perjanjian dengan penculik, yang membebaskan penerjemah itu tiga hari setelah penculikan tersebut, tapi upaya pendukung Sadr untuk membebaskan orang Inggris itu tidak bertahan, karena alasan tak diumumkan. Pejuang pada awal maret melukai seorang wartawan Prancis di kota Erbil, sekitar 350 kilometer utara Bagdad, sesudah mencoba merampok dan secara seksual melecehkannya di hotel kota itu, kata laporan media. Pejuang menyerang wartawan Prancis Ceisen Emy Bonne (33 tahun) di hotel Horman, kata sumber polisi kepada kantor berita Suara Irak. Pengamat media bermarkas di Paris, Wartawan Tanpa Perbatasan, menyatakan dalam setahun terahir, 25 wartawan dan sejumlah pembantu media diculik di Irak dan 208 pekerja pers tewas berkaitan dengan pekerjaan mereka sejak awal serangan pimpinan Amerika Serikat atas Irak pada 2003. Perhimpunan Pers Inggis menyatakan wartawan Inggris diculik itu meliput kejatuhan Bagdad pada 2003 dan bekerja untuk sejumlah media, termasuk "Sunday Telegraph", "New York Times" dan "Finacial Times". Irak adalah negara paling banyak menewaskan wartawan dan pekerja media di dunia setiap tahun sejak serbuan pimpinan Amerika Serikat pada 2003 dan setidak-tidaknya 65 orang tewas tahun 2007, kata Perhimpunan Wartawan Antarbangsa. Sebagian besar dari mereka adalah warga Irak, yang dibunuh kelompok garis keras atau orang bersenjata, yang marah akibat liputan mereka secara ideologi menentang majikan mereka, sementara yang lain akibat terperangkap dalam bakutembak. , demikian Reuters.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008