Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi politik Ichsanudin Noorsy mengatakan, kegagalan fungsi APBN-P 2008 merupakan akibat dari sikap politik pemerintah Indonesia yang berkiblat ke Amerika Serikat (AS) dan kebijakan ekonomi yang berbasis mekanisme pasar. "Jika pemerintah bermaksud mengubah lagi APBN-P 2008 dan sudah berniat menaikkan harga BBM, hal ini hanya sekedar membuktikan pemerintah konsisten menerapkan pasar bebas pada barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak. Akibatnya masyarakat tunduk pada 'kediktatoran' pasar, sebagaimana terbukti pada gejolak harga-harga," kata Noorsy di Jakarta, Jumat. Menurut dia, Kabinet Indonesia Bangkit (KIB) terlalu asyik dengan kebijakan liberalisasi sumber daya, produksi, investasi, dan distribusi. Mereka baru tersadar saat pada Februari 2008 harga minyak sudah di atas 100 AS dolar per barel. "Anehnya lagi, saat RAPBN-P 2008 diajukan pada Maret 2008, asumsi harga minyak 95 dolar AS per barel, dengan inflasi 6,5 persen. Padahal dampak gejolak harga minyak berpengaruh terhadap nilai tukar, suku bunga, dan harga komoditas strategis yang berujung pada inflasi pada barang-barang impor," ujarnya. Menurut Noorsy, memang Departemen Energi AS telah membuat prediksi bahwa pasokan minyak pada 2008 cukup memenuhi kebutuhan. Tetapi "turbulensi" ekonomi AS tidak bisa dihindari, yang disebabkan AS menghadapi masalah defisit anggaran lima persen akibat dari perang Irak, biaya badai Katrina, dan krisis kredit perumahan. "Situasi ini sebenarnya sudah diduga lebih dulu oleh Joseph E Stiglitz. Dan sebagaimana pemerintah Indonesia, Administrasi George W Bush pun mengacuhkan," katanya. Lebih lanjut, dia mengatakan harga minyak merupakan senjata ampuh untuk memukul kekuatan ekonomi sekaligus sebagai perang diplomasi. Kasus nuklir Iran, junta militer Myanmar, krisis politik Pakistan, dan demo Tibet merupakan peperangan ekonomi politik. Karena itu, dia berpendapat, kenaikan harga minyak hanya soal waktu, di tengah tidak ada upaya peningkatan produksi, renegosiasi "cost recovery", menihilkan korupsi pada impor enerji, dan revitalisasi kilang. Dia mengatakan, angka kemiskinan boleh turun, tetapi fakta menunjukkkan penderita gizi buruk meningkat, kemiskinan merata, dan pengangguran merebak. Dampak lainya adalah fungsi negara untuk menyejahterakan rakyat semakin marjinal. (*)

Copyright © ANTARA 2008