Medan (ANTARA News) - Kebesaran Partai Golkar dinilai mulai berkurang karena dipimpin oleh orang pragmatis dan menganggap demokrasi sebagai "alat" untuk meraih kekuasaan. Demokrasi tidak lagi dianggap sebagai "ruhnya" rakyat sebagaimana yang pernah ditunjukkan Akbar Tanjung ketika masih menjabat Ketua Umum Partai Golkar, kata Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Sumatera Utara (USU), Drs H Heri Kusmanto, MA, di Medan, Senin. Menurut dia, faktor lain yang menyebabkan berkurangnya kebesaran Partai Golkar adalah kurangnya partisipasi senior dan sesepuh partai berlambang pohon beringin itu yang memiliki "jam terbang" tinggi dalam rimba perpolitikan Indonesia. "Kader Partai Golkar saat ini dinilai tidak mampu lagi menahan `magnet` kekuasaan, sehingga melupakan siapa saja yang pernah membesarkan partai berlambang pohon beringin tersebut," katanya. Ia menambahkan, pada era Akbar Tanjung Partai Golkar telah mampu menunjukkan jati dirinya sebagai partai yang demokratis dengan mengadakan konvensi guna mencari calon pemimpin. Program yang dicanangkan sebagai perwujudan "Golkar Baru" tersebut juga yang membuat partai itu berhasil "selamat" dari hujatan reformasi yang pada saat itu sedang hangat-hangatnya. Dengan mengusung motto "Golkar Baru Bersatu Untuk Maju", partai yang dicap pendukung Orde Baru itu berhasil meyakinkan rakyat bahwa partai berlambang pohon beringin itu telah berubah sehingga memenangi Pemilu tahun 2004. "Tidak salah jika Akbar Tanjung sering disebut sebagai penyelamat Partai Golkar," kata Heri, yang juga Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Medan Area itu. Menurut Heri, hilangnya demokratisasi dan pragmatisnya pengurus Partai Golkar saat ini membuat banyak kader partai yang memindahkan saluran aspirasi politiknya sehingga kebesaran partai berkurang. Fenomena itu terjadi di Sumut dengan keikutsertaan dua kader Partai Golkar yakni mantan Ketua DPD Partai Golkar Sumut, Abdul Wahab Dalimunthe dan mantan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Kabupaten Langkat, Syamsul Arifin menjadi calon gubernur "melawan" calon yang diusung partai tersebut. Jika iklim demokrasi yang pernah menyelamatkan Partai Golkar pada era reformasi dulu tidak dikembalikan dikhawatirkan partai itu akan semakin kehilangan kebesarannya. "Bagaimana mungkin sebuah partai politik dapat diakui sebagai pilar demokrasi jika tidak terdapatnya iklim demokratis di partai itu," kata Heri. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008