Jakarta (ANTARA) - Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan kedaulatan negara bisa terkikis bila berbagai aturan yang menguntungkan investor dalam berbagai bentuk perjanjian perdagangan bebas dapat bersifat melangkahi regulasi nasional.

"Sudah banyak bukti kedaulatan negara hilang akibat perjanjian perdagangan bebas. Banyak gugatan dihadapi oleh Indonesia karena pemerintah membuat regulasi nasional yang bertentangan dengan komitmen liberalisasi pasar dari perjanjian internasional," kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti di Jakarta, Jumat.

Rachmi menegaskan bahwa perjanjian perdagangan bebas bukan hanya mendiskusikan tarif ekspor dan impor, namun juga akan merundingkan prinsip-prinsip hukum perjanjian yang akan mengikat negara anggotanya untuk mengharmonisasi regulasi nasional dengan level komitmen liberalisasi yang lebih tinggi.

Dengan kata lain, ujar dia, ada penegakan hukum dan sanksi yang berlaku terhadap negara anggota yang tidak menjalankan komitmen liberalisasinya. Pada akhirnya Kedaulatan negara tersandera dengan aturan perjanjian perdagangan bebas yang tentunya bertentangan dengan Konstitusi.

Untuk itu, ia menegaskan bahwa meratifikasi perjanjian perdagangan bebas sebenarnya bukan hanya menghitung berapa potensi ekspor Indonesia, tetapi harus dihitung juga dampak terhadap hak rakyat Indonesia yang hilang akibat pengabaian amanat konstitusi dari pelaksanaan perjanjian itu.

Sebelumnya, Rachmi juga menyoroti Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA CEPA) yang dicemaskan ke depannya akan semakin memperbesar potensi jumlah impor dari negara Kangguru tersebut.

"IA CEPA dipastikan akan memperdalam defisit perdagangan antara Indonesia dan Australia yang dari 2014 ke 2018 trendnya meningkat 50.05 persen atau defisit hingga 3 miliar dolar AS pada 2018," kata Direktur Eksekutif IGJ.

Menurut kajian yang disusun IGJ, sebenarnya dari perjanjian kerja sama ASEAN dengan Australia-Selandia Baru sebelumnya yang telah diratifikasi pada tahun 2011, hampir 90 persen produk diperkirakan telah dihapuskan tarifnya hingga 0 persen.

Selain itu, IGJ juga mengingatkan bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan Australia sejak 2012 terus menunjukan angka defisit, khususnya di sektor nonmigas.

"Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel tarif tidak memberikan pengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia ke Australia. Selama ini, hambatan perdagangan Indonesia ke Australia dipengaruhi oleh faktor tindakan nontarif," paparnya.

Ia mencontohkan, selama ini, sejumlah kebijakan seperti standar karantina produk yang diterapkan Australia tidak dapat dengan mudah ditembus eksportir Indonesia sehingga melahirkan biaya tambahan bagi produk ekspor di pasar Australia.

Selain itu, IGJ juga menemukan bahwa potensi ekspor yang belum termanfaatkan oleh Indonesia di pasar Australia hanya senilai 201 juta dolar AS, sebaliknya potensi ekspor Australia ke Indonesia yang belum termanfaatkan sebesar 1 miliar dolar AS atau hampir 5 kali lipat dari tambahan potensi ekspor Indonesia.

Contoh peluang perdagangan dari Australia ke Indonesia yang belum termanfaatkan antara lain bijih gandum senilai 1 miliar dolar AS di mana pemanfaatannya baru 51 persen, sapi hidup senilai 236 juta dolar AS atau baru termanfaatkan 68 persen saja, serta daging sapi senilai 327 juta dolar AS di mana pemanfaatannya baru 35 persen.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019