Jakarta (ANTARA News) - Greenpeace mendorong para pengusaha yang bergerak di Industri kelapa sawit untuk memikirkan pertumbuhan yang bekelanjutan sehingga tidak memperparah kerusakan lingkungan yang terjadi. "Kita tidak anti terhadap industri, tetapi Industri harus memahami bahwa diperlukan pengelolaan lingkungan alam yang baik agar industri ini bisa berkelanjutan," kata Penasehat Politik Greenpeace Asia Tenggara Arief Wicaksono di Jakarta, Rabu. Ia mengatakan, saat ini lahan agar industri dapat berkelanjutan maka perlu dilakukan jeda terhadap ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit. "Apabila para produsen, pemasok dan industri pengguna minyak kelapa sawit dunia tidak segera menyerukan penghentian pengrusakan hutan maka praktek industri yang tidak berkelanjutan akan menimbulkan beban karbon yang sangat besar di masa depan," katanya. Menurut dia, akibat dari ekspansi perkebunan kelapa sawit yang merambah hutan dan lahan-lahan gambut membuat emisi CO2 (karbon dioksida/gas rumah kaca) terus meningkat. "Di Indonesia, emisi gas rumah kaca tahunan dari lahan gambut yang terletak di sekitar konsensi perkebunan kelapa sawit mewakili satu persen dari total emisi global," katanya. Ia mengatakan, apabila Protokol Kyoto tahap kedua diberlakukan dengan pemberian kompensasi beban karbondioksida (CO2) sebesar 30 euro per ton akan membuat perusahaan akan kehilangan pendapatannya. Ia mencontohkan perusahaan Unilever sebagai salah satu konsumer minyak sawit terbesar, bila beban karbon tersebut diberikan kepada perusahaan tersebut maka, Unilever harus membayar 714 juta Euro pertahun atau 14 perwsen dari total laba. "Untuk itu, Unilever sebagai perusahaan telah mempelopori untuk menyerukan penghentian perusakan lingkungan melalui moratorium dalam industri kelapa sawit," katanya. Sementara itu, ia mengatakan, terjadinya pengrusakan hutan karena ekspansi perkebunan sawit juga didorong oleh tata kelola pemerintah yang buruk dalam industri ini.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008