Surabaya, (ANTARA News) - Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Mohammad Nuh menyatakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ditempuh pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi kedua. "Tujuan mengurangi subsidi BBM itu bukan hanya untuk menyelamatkan APBN, tapi ada yang lebih penting dari itu, yakni mengatasi krisis ekonomi kedua," katanya di Surabaya, Minggu. Ia mengemukakan hal itu dalam pertemuan dengan pimpinan media massa di Surabaya, di antaranya Pimpinan "Surya", Dhimam Abror, Pimred "Surabaya Post" Erfandi Putra, Redaktur LKBN ANTARA Jatim, Chandra HN, Pimpinan Detikcom Surabaya, Budi Sugiharto, dan sebagainya. Mantan Rektor ITS Surabaya itu mengakui, kenaikan harga BBM memang akan terasa berat pada tahun 2008 namun kondisi di tahun 2009 justru akan menjadi stabil. "Misalnya, kenaikan harga BBM akan menyebabkan tingkat inflasi 2008 mencapai 11,2 persen. Namun inflasi pada tahun 2009 akan menjadi 5,8 persen. Jadi, kita akan susah pada 2008, tapi aman pada 2009," katanya menjelaskan. Didampingi Kepala Dinas Infokom Jatim, Drs H Suwanto, ia mengemukakan, kondisi itu terjadi, karena kenaikan harga BBM juga diikuti berbagai kebijakan, diantaranya program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) berkisar Rp3 miliar/kecamatan, Kredit Usaha rakyat (KUR) Rp5 juta/orang tanpa agunan, dan BLT. "Itu akan berbeda kondisinya bila harga BBM tidak naik, tapi juga tidak ada kebijakan apa-apa. Kalau hal itu yang dilakukan, akan menyebabkan inflasi mencapai 13,2 persen pada 2008 dan 14,6 persen pada 2009. Umpama dibiarkan, Indonesia akan mengalami krisis lagi," katanya menegaskan. Menurut menteri kelahiran Gunung Anyar, Surabaya itu, pertimbangan serupa juga sudah diamati pemerintah untuk nilai kurs dolar AS, kenaikan jumlah masyarakat miskin, dan prediksi lainnya. "Kalau BBM dinaikkan dengan diikuti berbagai kebijakan yang membantu masyarakat, maka kemiskinan akan berjumlah 14-16 persen pada 2008 dan 12,5 persen pada 2009, tapi kalau BBM tidak naik dan tidak ada kebijakan apa-apa, maka jumlah orang miskin justru akan mencapai 19,5 persen," katanya. Ketika ditanya ANTARA tentang usulan mahasiswa untuk nasionalisasi industri migas, ahli elektronika biomedik itu menyatakan, pemerintah sudah memutus kontrak dengan Exxon di Pulau Natuna dan PT Newmont di NTB. "Tapi, kontrak-kontrak lain tidak dapat langsung diputus dengan alasan nasionalisasi aset, karena kontrak yang sudah dibuat pemerintah sebelumnya itu bila diambil secara paksa akan mendorong Exxon, Freeport, dan lainnya melapor ke abitrase dan kita pasti kalah," katanya. Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah hanya dapat melakukan evaluasi terkait kontrak yang ada, agar tidak merugikan. Namun pemerintah tidak mungkin membatalkan secara serta merta, karena mereka juga sudah memberikan manfaat kepada Indonesia. Usai berdialog dengan pers di Surabaya, Nuh juga berjanji akan melakukan sosialisasi serupa kepada kalangan mahasiswa dan akademisi. "Tapi, ada lho, mahasiswa dan akademisi yang sudah mengerti, tapi mereka memikirkan kepentingan politis," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008